Dengan serenceng rekam jejak seperti ini, rasanya para RR haters tadi harus bepikir ulang jika bermaksud meneruskan pem-bully-annya. Lain soal kalau mereka adalah pasukan yang teguh menggenggam prinsip ‘maju tak gentar membela yang bayar.’ Hehehe...
Membangun tanpa air mata
Kendati disesaki dengan rekam jejak serius dan penuh risiko, tidak berarti RR adalah sosok yang melulu serius. Kepada wartawan yang kodratnya memang kepo, dia mengatakan, “Kami ingin membangun Jakarta yang asyik. Tidak perlu dengan grusak-grusuk, apalagi bersimbah air mata,” katanya penuh sense of humor dan sedikit puitis. Jakarta yang asyik gitu, loh...
“Saya ingin menata, bukan menggusur permukiman warga. Urban renewal. Jakarta memerlukan Gubernur yang mencintai dan dicintai penduduknya. Kita butuh gubernur yang mau mendengar, bukan melanggar. Intinya, mari kita membangun DKI dengan semangat mengembalikan kejayaan ibukota,” paparnya.
Rizal Ramli berulang kali menegaskan, bahwa membangun Ibukota bisa dilakukan tanpa air mata dan tangisan. Penggusuran lahan seluas empat hektar di kampung Akuarium, misalnya. Menurut dia, itu sangat tidak manusiawi. Lebih dari 400 keluarga yang sudah menghuni puluhan tahun dan setiap tahun selalu membayar PBB, dipaksa pergi tanpa serupiah pun ganti rugi. Lebih miris lagi, penggusuran dilakukan dengan melibatkan tentara dan polisi. Ini wujud dari kapitalisme ugal-ugalan.
Menurut dia, ada cara lain yang lebih santun. Di atas 0,5 ha bisa dibangun rusun bagi warga, masing-masing mendapat sekitar 60-70 m2 secara gratis. Biayanya paling banter cuma Rp150 miliar-Rp200 miliar. Setengah ha lain dibangun lahan bermain untuk warga bersosialisasi. Sisanya yang 3 ha baru dijual ke swasta dengan harga mulai Rp25 juta rupiah/m2. Dari kalkulasi ini, pemerintah masih dapat untung Rp550 miliar-Rp600 miliar. Namun tidak ada air mata warga yang tertumpah karena dizalimi. Pada saat yang sama, pengusaha pun memperoleh lahan untuk mengembangkan bisnis propertinya. Win win solutions.
Dia juga sudah punya konsep mengatasi kemacetan yang selama belasan tahun jadi momok warga Jakarta. Kebijakan ganjil-genap di jalan protokol adalah gagasannya kepada Gubernur DKI Jakarta Jokowi.
Di kantongnya juga sudah ada konsep kereta bawah tanah alias subway untuk transportasi publik, akses air bersih termasuk membuat sumur serapan untuk warga miskin, pemberdayaan UKM dan pedagang kaki lima, dan lainnya.
“Dengan APBD sekitar Rp70 triliun, kita bisa lakukan apa saja untuk warga Jakarta. Bukan hanya bagi kepentingan kalangan menengah atas. Tapi justru terutama untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat menengah bawah,” ujarnya.
Sayangnya, fakta yang ada justru menunjukkan Jakarta dikenal sebagai provinsi yang paling rendah serapan anggarannya di Indonesia. Ada ratusan triliun rupiah anggaran DKI yang mengendap di bank.
Dulu, Gubernur Ali Sadikin terbukti mampu membangun banyak fasilitas publik. Antara lain, taman-taman, penghijauan, gelanggang remaja, sekolah-sekolah, dan berbagai fasilitas umum (Fasum) serta fasilitas sosial (Fasos) lainnya. Padahal, saat itu Jakarta hanya punya dana yang minim.