Ketiga, kinerja keuangan yang membaik ini akan memberi leverage perusahaan dalam menjaring dana secara massif dan, yang lebih penting lagi, murah. Berbekal modal yang kuat, perusahaan bisa meraup dana segar lewat initial public offering (IPO) saham, secondary public offering (SPO) saham, rights issue, penerbitan obligasi, juga pinjaman bank.
Keempat, dengan modal dan pendanaan yang kuat, perusahaan bisa melakukan berbagai aksi korporasi. Mulai dari ekspansi sampai diversifikasi usaha. Ini artinya, akan lebih banyak tenaga kerja yang bisa terserap. Degan begitu, soal pengangguran yang selama ini jadi problem pemerintah, bisa ikut teratasi.
Kelima, revaluasi aset memberi penerimaan bagi pemerintah dari PPh. Sampai akhir 20015 saja, pemerintah meraih Rp10,6 triliun dari pajak kenaikan aset BUMN yang mencapai Rp800 triliun. Angka ini belum termasuk tambahan penerimaan PPh hasil revaluasi aset PT PLN (Persero). Maklum, sebelumnya perusahaan setrum negara ini sudah menyetor pajak Rp6,2 triliun sebagai konsekwensi lonjakan asetnya. Paska revaluasi, aset PLN naik jadi RP800 riliun dari sebelumnya Rp600 triliun.
Masih soal PLN, ternyata final revaluasi aset yang dilakukan menunjukkan lonjakan nilai asetnya mencapai Rp500 trilliun. Dengan demikian, PLN harus membayar PPh total sebesar Rp14,2 triliun. Sebelumnya, untuk kenaikan aset senilai Rp200 triliun, PLN telah menyetor ke kas negara sebesar Rp6,2 triliun.
Jumlah PPh yang jadi kewajiban PLN sebesar Rp14,2 triliun itu dengan asumsi pajak yang harus dibayar sebesar 3%. Jika pemerintah ngotot mengenakan pajak sebesar 4% (dengan pertimbangan revaluasi aset dilakukan setelah semester pertama 2016), maka tentu jumlah pajaknya akan lebih besar lagi.
Mengenai soal ini, Menko Rizal Ramli berpendapat, sebaiknya Pemerintah memberi keringanan kepada PLN. Pembayaran PPh oleh PLN yang Rp14,2 triliun sudah bagus. Ini merupakan penerimaan yang sangat berarti bagi pemerintah. Dengan memaksa membayar PPh 4% karena revaluasi dilakukan pada semester pertama 2015, bisa mengurangi kemampuan kas perusahaan.
“Saya kira pemerintah memperoleh Rp14,2 triliun sudah cukup bagus. Akan jauh lebih baik bila pemerintah lebih menggalakkan perusahaan lainnya melakukan revaluasi aset, daripada memaksa PLN menaikkan setoran PPh-nya dari selisih revaluasi aset,” ujar Rizal Ramli.
BUMN lain yang juga sudah melakukan revaluasi aset antara lain, Bank Mandiri yang asetnya naik Rp23 triliun. Selain itu, Bank BNI dan PT Krakatau Steel (KS) sukses merevaluasi asetnya. Masing-masing mengalami lonjakan nilai aset Rp12 triliun dan Rp20 triliun, Tentu dari ketiga BUMN tersebut pemerintah juga mendapat penerimaan PPh yang lumayan.
Benefit keenam, seperti disampaikan sebelumnya, relaksasi perpajakan terkait revaluasi aset ini bakal memacu pertumbuhan ekonomi. Paling tidak, pada tahap awal akan ada banyak profesi yang ketiban rejeki. Yang sudah pasti para appraisal alias penilai aset. Lalu, akuntan publik, notaris, konsultan pajak juga dipastikan ikut kecipratan rejeki. Begitu banyak pekerjaan revaluasi aset, tentu membuat berbagai perusahaan penunjang itu jadi sibuk. Bahkan mereka juga akan merkerut tenaga/profesional baru. Artinya, terjadi penyerapan tenaga kerja.
Ketujuh, dengan menggelembungnya aset dan melonjaknya modal, perusahaan punya leverage untuk mengail dana segar. Di sini sejumlah provesi lain juga ikut menikmati. Mereka di antaranya para underwriter, manajer investasi, bahkan Public Relations dalam upayanya menikkan citra positif perusahaan.
Hebatnya lagi, mereka akan rajin promosi ke dalam dan luar negeri tentang perusahaan yang bersangkutan khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Ini jelas bisa menjadi promosi gratis sekaligus berkredibilitas tinggi. Gratis, karena tidak perlu mengalokasikan bujet mahal untuk promosi dan beriklan. Kredibilitas tinggi, karena yang berpromosi bukanlah pejabat birokrasi. Promosi yang dilakukan sesama swasta, membuat tingkat kepercayaan calon investor bisa dipastikan lebih tinggi.