[caption id="attachment_173041" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Keluhan masyarakat mengenai biaya yang timbul setiap ada urusan dengan kepolisian seringkali terdengar. Mengurus SIM dan SKCK yang sifatnya administratif dan normatif saja seringkali ada biaya di luar biaya resmi, apalagi jika urusan dengan polisi karena suatu kasus, perkara, masalah yang penyelesaiannya melibatkan polisi. Seminggu terakhir, 2 berita menyangkut biaya layanan di Polda Metro Jaya saya dapatkan di Detiknews. Pertama mengenai nomor 'cantik' kendaraan bermotor yang bisa dipesan secara gratis oleh masyarakat dan kedua mengenai jasa layanan derek kendaraan yang menurut pejabat di Polda Metro Jaya juga gratis.
"Mereka mengajukan, selama ada, masyarakat meminta kita layani, selama tidak melanggar ketentuan," urainya. Ia menyatakan, tidak ada permintaan biaya untuk pengurusan nopol. "Nggak ada," ucapnya. (Kabag Reigstrasi dan Identifikasi (Regiden) Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Latif Usman) ---- "Tidak ada tarif atau biaya untuk derek, itu gratis," kata Kepala Subdit Penegakkan Hukum Polda Metro Jaya AKBP Sudarmanto saat dihubungi wartawan, Selasa (21/2/2012).
Komentar para pembaca kedua berita tersebut nyaris seragam : tidak percaya dengan pernyataan kedua pejabat tersebut. Pernyataan para komentator memang tidak mewakili penilaian seluruh lapisan masyarakat, namun jika melihat seragamnya nada komentar yang ada, maka pernyataan kedua pejabat kepolisian di atas juga perlu diuji kebenarannya. Dalam berita kedua, tertulis :
bila masyarakat mau memberikan secara sukarela, dipersilakan."Kalau mau ngasih, ya silakan saja, asal sopir dereknya nggak meminta," tegasnya. Ia melanjutkan, bila ada petugas derek dari Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya yang meminta uang jasa, masyarakat diimbau untuk melaporkan.
Inilah celah dalam upaya pemberantasan korupsi di kepolisian. Tidak boleh meminta, tetapi kalo ada yang mau memberi boleh diterima. Apa yang diungkap perwira menengah tersebut tidak salah. Kode etik profesi kepolisian mengatur mengenai :
Pasal 5 e. Tidak membeda-bedakan cara pelayanan kepada semua orang; f. Tidak mengenal waktu istirahat selama 24 jam, atau tidak mengenal hari libur; g. Tidak membebani biaya, kecuali diatur dalam peraturan perundang-undangan; h. Tidak boleh menolak permintaan pertolongan bantuan dari masyarakat dengan alasan bukan wilayah hukumnya atau karena kekurangan alat dan orang; i. Tidak mengeluarkan kata-kata atau melakukan gerakan-gerakan anggota tubuhnya yang mengisyaratkan meminta imbalan atas batuan Polisi yang telah diberikan kepada masyarakat.
Jadi, jika ada uang terima kasih, sumbangan sukarela atau apapun yang diberikan oleh masyarakat atas layanan yang diberikan oleh petugas polisi, hal itu tidak diatur dalam kode etik. Celah yang dapat digunakan adalah jika petugas kepolisian menerima pemberian dari masyarakat maka itu dianggap sebagai pemberian sukarela. Petugas polisi memang tidak boleh meminta imbalan baik secara verbal maupun dengan isyarat. Namun seringkali dalih yang digunakan adalah "masyarakat harusnya juga tahu diri, lha wong sudah dilayani kok...". Alangkah elok jika institusi Polri juga memberlakukan aturan yang tegas dan bersanksi keras : petugas polisi dilarang menerima pemberian dalam bentuk apapun dari masyarakat terkait dengan tugasnya. Jika ada pelanggaran dalam hal ini, pengaduannya pun bukan ke Propam, karena sama saja jeruk minum jeruk. Polisi kok disuruh menghukum temannya... ~~ Contoh-contoh lain keluhan masyarakat atas biaya tak resmi dalam pelayanan publik tak hanya dari instansi Kepolisian. Layanan pembuatan KTP, Paspor, perizinan dan lainnya di banyak instansi pemerintah juga seringkali mengakibatkan masyarakat mengeluarkan biaya ekstra di luar ketentuan resmi. Sebagian aparat publik memang masih menganggap bahwa sah-sah saja menerima pemberian sukarela dari masyarakat, sebagai uang terima kasih atau apa. Yang dianggap tabu adalah meminta, mewajibkan ada pemberian walaupun sebagian petugas dalam loket pelayanan masyarakat pun ada yang tak segan meminta uang administrasi di akhir pelayanan, meski tak menyebutkan jumlah. Definisi korupsi seringkali masih terbatas pada menyelewengkan anggaran untuk memperkaya diri. Sedangkan pungutan-pungutan tak resmi dalam pelayanan publik tidak dianggap tindak korupsi. Kalaupun tindakannya diyakini ilegal namun tidak dapat digolongkan sebagai tindak memperkaya diri, karena pungutan tersebut nilainya cukup kecil. Mungkin hanya 2-5 ribu rupiah saja. Tak akan bikin kaya. Larangan menerima pemberian telah masuk dalam kode etik beberapa instansi, mislanya KPK, BPK dan Kementerian Keuangan. Apakah kode etik tersebut benar-benar ditegakkan di masing-masing instansi, tentu tergantung dari masing-masing instansi tersebut. Namun setidaknya masyarakat punya dasar yang kuat untuk memperkarakan ulah oknum yang menikmati uang pemberian dari masyarakat tanpa oknum tersebut bisa berkelit bahwa hal tersebut adalam pemberian sukarela. Padahal saya yakin masyarakat tak pernah rela membayar melebihi tarif resmi. Walaupun tidak tercantum dalam kode etik, seorang aparat publik seharusnya memahami keumuman ketentuan "beriman dan bertaqwa" yang selalu ada dalam poin pertama dalam setiap kode etik. Iman dan taqwa bukan hanya menjadikan seorang pegawai rajin beribadah, tapi juga waspada jangan sampai menerjang larangan-larangan dalam ajaran agamanya.
“Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, “Ini untukmu dan ini hadiah untukku!” Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang datang dengan mengambil hadiah seperti pekerja tadi melainkan ia akan datang dengannya pada hari kiamat, lalu dia akan memikul hadiah tadi di lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka akan keluar suara unta. Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan keluar suara sapi. Jika yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara kambing.“ (HR. Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832)
Demikian perkataan Nabi Muhammad mengenai pegawai yang menerima pemberian sukarela dari masyarakat. Tak ada pemberian sukarela dari masyarakat kepada seorang aparat, kecuali itu terkait dengan pekerjaannya. Dalam ajaran agama lain, saya yakin larangan serupa juga ada. Baca juga : Uang Tip dan Hadiah Khianat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H