Mohon tunggu...
Edy Priyono
Edy Priyono Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja peneliti, juga sebagai konsultan individual untuk berbagai lembaga. Senang menulis, suka membaca. Semua tulisan di blog ini mencerminkan pendapat pribadi, tidak mewakili institusi apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Thee Kian Wie, Ekonom yang Tidak Haus Popularitas dan Jabatan

11 Februari 2014   16:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:56 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_294969" align="aligncenter" width="624" caption="Pak Thee Kian Wie (sumber: www.nasional.kompas.com)"][/caption]

Indonesia, khususnya dunia akademis, baru saja kehilangan salah satu putra terbaiknya, yaitu ekonom Thee Kian Wie yang baru saja meninggal Sabtu 8/2/2014 dalam usia 79 tahun (lahir 20/4/1935 di Jakarta). Saya kenal dengan Pak Thee –demikian biasanya beliau dipanggil-- saat saya masih bekerja di sebuah LSM internasional yang berkantor di Jakarta. Lembaga itu biasa mensponsori  beberapa akademisi untuk menghadiri seminar atau lokakarya di luar negeri.

Dalam sebuah kesempatan, Pak Thee mendapatkan fasilitas tersebut. Menurut ketentuan, sepulang dari luar negei, orang yang dibiayai harus menyerahkan 4-5 halaman laporan perjalanannya, termasuk substansi kegiatan yang diikutinya. Seingat saya, dari sekian banyak orang, hanya Pak Thee yang membuat laporan itu, dan diserahkannya tepat waktu.

Dalam penilaian saya, beliau mungkin merupakan salah seorang ekonom yang ‘paling tidak terkenal’ di Indonesia, bahkan di kalangan akademisi (Indonesia) sekalipun. Sebagai ilustrasi, saat saya coba bertanya ke beberapa teman yang mengajar di Fakultas Ekonomi berbagai PTS apakah tahu tentang Thee Kian Wie, mereka menjawab “pernah denger sih”, menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tidak tahu.

Sejauh pengamatan saya, Pak Thee tidak pernah muncul di layar kaca menjadi narasumber talk show yang oleh banyak ‘akademisi’ menjadi sarana mengerek popularitas. Secara umum media massa memang tidak menganggapnya sebagai narasumber penting, terutama karena beliau memang tidak pernah mengeluarkan pernyataan atau komentar bombastis (tapi miskin fakta dan analisa) yang –secara ironis—biasanya disenangi awak media.

Pak Thee sendiri juga bukan orang yang haus publikasi, apalagi menggunakannya sebagai sarana untuk mengejar jabatan. Gaya hidupnya yang sangat sederhana tampaknya punya hubungan timbal balik dengan berbagai sikapnya itu.

Selain itu, sebagai ekonom yang bidang utamanya adalah sejarah ekonomi, Pak Thee merupakan tipikal ekonom yang kuat dengan konsep dan analisa, tetapi tidak menggunakan metode kuantitatif untuk membangun argumentasinya. Tidak ada yang salah dengan itu, tentu saja.

Yang menjadi masalah adalah karena trend di kalangan ekonom tidak seperti itu. Ilmu Ekonomi telah berkembang menjadi sangat kuantitatif, sehingga orang yang tidak fasih dengan metode kuantitatif sering dianggap tidak sah untuk menyandang predikat “ekonom”. Tentu saja tidak semua orang sepakat, tapi kenyataannya memang seperti itu. Jadi saya tidak heran, kalau beberapa kalangan akademisi tidak mengenalnya, atau kalau pun mengenal, tidak jarang yang meremehkannya.

Bagi Pak Thee sendiri, pandangan meremehkan itu sama sekali tidak masalah. Dalam berbagai kesempatan, beliau bahkan menyatakan dirinya sama sekali bukan orang pintar, seraya menyebut beberapa nama yang menurutnya pintar. Padahal, hanya orang pintar yang bisa mengidentifikasi orang yang benar-benar pintar. Tebaran tulisannya dalam bentuk buku, artikel di jurnal ilmiah, makalah seminar, dsb, cukup untuk menunjukkan kualitas beliau sebenarnya.

Bukan berarti sama sekali tidak ada yang menghargainya. Kompas Award untuk kategori cendekiawan ekonomi tahun 2008 adalah salah satu buktinya. Pak Thee juga mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa (selain gelar Doktor 'beneran' yang digenggamnya tahun 1969 di AS) dari Australian National University pada tahun 2004.

Di luar urusan akademis, saya selalu kagum dengan orang-orang keturunan Tionghoa yang merasa tidak perlu ganti nama untuk menunjukkan nasionalisme dan kecintaannya terhadap bumi Indonesia (meskipun saya juga tidak mempersoalkan yang ganti nama). Pak Thee adalah salah satunya (yang lainnya: Kwik Kian Gie, Soe Hok Gie, Liem Swie King, dsb). Itu menjadi pembelajaran kepada kita semua untuk tidak menilai orang dari 'kulit-kulit'-nya saja, apalagi nama.

Saya sebenarnya tidak termasuk sering berinteraksi langsung dengan beliau, tapi itu sudah cukup bagi saya untuk tahu bahwa Pak Thee adalah peneliti tulen yang sangat mencintai dan menjiwai profesinya. Praktis seluruh karier profesionalnya dihabiskan sebagai peneliti di LIPI. Waktu beberapa kolega/junior-nya ribut-ribut soal rendahnya gaji/honor peneliti, tak pernah sekalipun saya mendengar Pak Thee mengeluhkan hal yang sama.

Bagi saya, beliau bukan hanya pantas untuk dikagumi, tetapi juga dijadikan teladan bagi para peneliti dan ekonom tentang bagaimana menjalani profesi tanpa sikap haus materi, haus jabatan dan haus popularitas.

Selamat jalan, Pak Thee.. Semoga mendapat tempat yang layak di sisi-Nya..

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun