Mohon tunggu...
Edy Priyono
Edy Priyono Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja peneliti, juga sebagai konsultan individual untuk berbagai lembaga. Senang menulis, suka membaca. Semua tulisan di blog ini mencerminkan pendapat pribadi, tidak mewakili institusi apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menggugat Obyektivitas Media Massa

6 Januari 2015   16:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:43 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14205096901985937353

[caption id="attachment_345044" align="aligncenter" width="300" caption="Pillihan media massa (sumber: www.romeltea.com)"][/caption]

Hiruk pikuk media massa terkait Air Asia membuka memori dan kegelisahan saya tentang pemberitaan media. Pertanyaan kuncinya adalah: Seberapa jauh kita bisa menggunakan berita media massa sebagai fakta atau kebenaran?

Bukan masalah baru sebenarnya. Sudah sejak lama orang punya pandangan yang berbeda tentang masalah itu. Jurnalis terkemuka Mesir Mohammad Heikal pernah mengemukakan pendapat yang sangat tajam dan menarik, yaitu "pers bebas menyampaikan berita, tetapi tidak bebas beropini".

Secara implisit pernyataan Heikal menunjukkan bahwa yang disebut "berita" di media massa sebenarnya sering tercampur dengan "opini". Padahal berita dan opini merupakan dua hal yang sangat berbeda. Berita adalah potret fakta yang terjadi di lapangan, sedangkan opini jelas merupakan pandangan pribadi penulis atau media bersangkutan.

Masalahnya adalah opini bisa berpengaruh pada pilihan fakta yang disajikan dalam berita. Sebagai ilustrasi, kalau kita punya opini X, sedangkan fakta di lapangan ada X, Y dan Z, maka kita akan cenderung untuk hanya memberitakan X. Dari sisi fakta, memang benar terjadi X, tetapi jelas bahwa selain X masih ada Y dan Z yang mungkin saja tidak sejalan dengan X.

Pengaruh opini dalam pemberitaan sangat kentara saat Pemilihan Presiden 2014. Keberadaan hanya dua calon berimplikasi pada polarisasi media. Satu kelompok mendukung Jokowi/JK , kelompok lainnya mendukung Prabowo/Hatta. Mereka sama-sama mengadakan talk show, tapi narasumber yang diundang oleh TVOne (sebagai representasi media pendukung Prabowo) sangat berbeda dengan narasumber pada acara Metro TV(sebagai media pendukung Jokowi). Itu sekedar ilustrasi, masih banyak yang lain.

Opini juga berpengaruh pada pilihan kata atau gaya bahasa yang dipakai untuk menyampaikan sebuah fakta. Saya mencatat satu kasus, yaitu terkait kasus korupsi Anas Urbaningrum (saat itu statusnya belum terpidana).

Pada suatu hari (tahun 2013) saya membaca dua berita di dua koran berbeda tentang satu peristiwa yang sama, tetapi disampaikan dengan substansi yang berbeda, bahkan berlawanan. Koran Republika menyatakan "Anas sebut nama Ibas", sedangkan Kompas bilang "Anas tidak sebut nama Ibas". Padahal keduanya sama-sama sedang memberitakan hasil pemeriksaan tersangka Anas Urbaningrum di KPK. Jadi mana yang benar?

Setelah membaca lebih jauh, saya jadi mahfum tentang apa yang terjadi. Ternyata dalam pemeriksaan, Anas memang menyebut nama Ibas, tetapi dalam konteks Ibas sebagai Ketua SC Kongres Partai Demokrat. Itulah mengapa koran Republika menyatakan "Anas sebut nama Ibas".

Akan tetapi, meskipin menyebut nama Ibas, dalam pemeriksaaan itu ternyata Anas tidak bilang bahwa Ibas terima uang Hambalang. Itulah mengapa, koran Kompas menyatakan "Anas tidak menyebut nama Ibas".

Jadi kedua koran itu bisa dibilang sama-sama benar. Tapi menurut saya, dalam kasus ini koran Republika dengan sengaja membuat judul berita yang jika tidak membaca dengan lengkap orang bisa berasosiasi pada indikasi keterlibatan Ibas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun