Situs berita Detik.com selalu membuat polling untuk mengetahui opini orang terhadap berbagai masalah yang sedang hangat diperbincangkan. Saya pun beberapa kali -- tidak selalu-- menyimak hasilnya, setidaknya untuk tahu apa yang sedang difikirkan banyak orang.
Beberapa hasilnya 'biasa saja', beberapa lainnya cukup 'mengejutkan' (setidaknya bagi saya). Saya masih ingat, salah satu yang cukup mengejutkan saya adalah ternyata mayoritas peserta polling itu setuju kalau PNS dibiarkan berbisnis. Buat saya, itu mengejutkan. Pertama, karena saya sendiri tidak setuju kalau PNS dibolehkan berbisnis. Kedua, ini yang lebih penting, karena pada saat yang sama banyak (sekali) orang yang mengeluhkan kinerja PNS. Tidakkah orang berfikir, bahwa buruknya kinerja PNS itu sedikit-banyak ada kaitannya dengan boleh tidaknya PNS mempunyai pekerjaan lain (dalam hal ini: berbisnis)? Entah lah, yang jelas hasilnya seperti itu.
Polling terbaru tentang (rencana) kenaikan harga BBM juga mengejutkan saya. Sebenarnya polling itu tidak secara langsung bertanya tentang kebijakan kenaikan harga BBM. Orang diminta untuk memberi pendapat terkait pernyataan Dahlan Iskan (Menteri Negara BUMN yang sedang moncer namanya), bahwa pemerintah tidak boleh mundur dan 'takut' untuk meneruskan rencana kebijakan kenaikan harga BBM. Tapi intinya sama saja, kalau setuju dengan pernyataan Dahlan Iskan, berarti setuju dengan kenaikan harga BBM, dan sebaliknya.
Hasilnya mengejutkan! Sampai saat tulisan ini dibuat, sudah ada 1.139 orang pemberi suara, dan mayoritas (55%) ternyata menyetujui pernyataan Dahlan Iskan, dan --sekali lagi-- itu artinya menyetujui kenaikan harga BBM. Bedanya sedikit dengan yang tidak setuju (45%), tapi tetap saja itu mengejutkan saya, terutama kalau melihat maraknya demo menentang kebijakan itu dan suara-suara yang muncul melalui media, khususnya televisi.
Kenyataan itu sama sekali di luar perkiraan saya, meskipun saya pribadi juga termasuk yang setuju dengan rencana pemerintah itu (antara lain saya tuliskan dalam postingan berjudul "Maaf, Saya Setuju Kenaikan Harga BBM" beberapa waktu lalu). Oleh karena itu, saya kemudian mencoba melihat lebih jauh ke dalam.
Dari berbagai komentar terhadap hasil polling tersebut saya jadi mengerti apa yang ada di benak para pemberi suara yang setuju dengan kenaikan harga BBM itu. Ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di benak saya selama ini.
Mereka yang setuju dengan kenaikan harga BBM sama sekali bukan karena mereka "senang" terhadap keputusan itu. Kecuali para penimbun BBM, rasanya tak ada satu pihak pun yang diuntungkan oleh langkah itu, termasuk Partai Demokrat (dan SBY, tentu saja) yang katanya mengambil keuntungan politik dari langkah tsb. Katanya kalau harga BBM naik, pemerintah punya alasan menyalurkan BLT, citra PD/SBY akan naik, begitu skenarionya.
Buat saya, skenario Demokrat/SBY mengambil keuntungan politik itu  'lucu'. Andaikan saya jadi SBY, maka untuk menaikkan citra, saya bisa menyalurkan BLT tanpa harus didahului oleh kebijakan kenaikan harga BBM. Saya yakin banyak di antara kita yang masih ingat, beberapa waktu menjelang Pemilu 2009, SBY menurunkan harga BBM dan kemudian membuat kampanye masif di TV tentang "Hanya Jaman SBY Harga BBM Bisa Turun". Padahal, harga BBM turun waktu itu lebih karena harga minyak dunia juga turun. Nah, kalau itu, baru namanya pencitraan..
Jadi, orang setuju kenaikan harga BBM bukan karena senang, tetapi karena mengerti situasi yang dihadapi oleh pemerintah. Selain harga minyak dunia yang terus melonjak, mereka mengerti bahwa kebijakan subsidi yang diberikan kepada barang (yang membuat semua orang --termasuk orang-orang yang sebenarnya tidak memerlukan subsidi-- menikmatinya) bukan merupakan pendekatan yang tepat untuk membantu orang miskin.
Orang yang setuju dengan kenaikan harga BBM juga tidak bisa cepat-cepat dinilai sebagai tidak "pro-rakyat", karena membantu orang miskin (sebagai definisi operasional bagi apa yang disebut sebagai "pro-rakyat") tidak selalu harus dilakukan melalui subsidi barang (dalam hal ini: BBM) seperti itu.
Itulah mengapa, tidak sedikit orang yang juga tidak setuju dengan kebijakan "sekolah gratis", karena kebijakan itu juga membuat semua orang (termasuk orang-orang yang sebenarnya tidak pantas menerima subsidi) menikmatinya. Dari sisi desain kebijakan, subsidi terarah (artinya: hanya diberikan kepada orang yang pantas menerimanya) merupakan kebijakan yang lebih baik dibandingkan kebijakan membuat barang (dalam kasus ini: BBM) menjadi murah bagi semua orang (padahal 'aslinya' harganya lebih mahal).