Mohon tunggu...
Edy Priyono
Edy Priyono Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja peneliti, juga sebagai konsultan individual untuk berbagai lembaga. Senang menulis, suka membaca. Semua tulisan di blog ini mencerminkan pendapat pribadi, tidak mewakili institusi apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pencaplokan Fasilitas Umum untuk Pribadi, Jangan Jadi 'Budaya'

23 Maret 2012   11:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:35 3991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari namanya sudah jelas, bahwa fasilitas umum adalah fasilitas yang digunakan oleh orang banyak. Jadi, sebagai salah satu fasilitas umum, bahu jalan tidak boleh dikuasai oleh orang tertentu secara pribadi dan menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya. Dari sisi peraturan, sangat jelas. Untuk Kota Bekasi, misalnya, ada Perda No 9 Tahun 2001 yang mengatur larangan tentang pemanfaatan fasilitas umum, kecuali atas izin Walikota. Larangan tersebut bahkan ditulis dalam bentuk papan pengumuman dan dipasang di area bahu jalan di dekat perumahan tempat saya tinggal (lihat Gambar 1). [caption id="attachment_167876" align="aligncenter" width="614" caption="Perda larangan pemanfaatan fasum/fasos"][/caption] Masalahnya, seperti biasa, aturan tinggal aturan. Banyak sekali pelanggaran. Saya sengaja tidak memperhitungkan para pedagang yang memanfaatkan area itu, karena sifatnya non-permanen. Mereka hanya memanfaatkan pagi s/d sore atau malam hari saja. Selebihnya mereka pulang ke rumah. Lagipula, tanpa bermaksud melecehkan, mayoritas mereka adalah 'orang kecil' yang sedang berjuang mencari nafkah. Jadi buat saya, memang tetap melanggar aturan, tapi oke lah.. Yang lebih menjadi persoalan adalah mereka yang secara permanen menggunakan bahu jalan itu untuk keperluan pribadinya. Dan yang lebih memprihatinkan, itu dilakukan oleh orang-orang (relatif) kaya yang saya yakin sebenarnya mestinya tidak perlu melakukannya. Contoh pertama ada di Gambar 2. Dalam kasus ini, yang melakukan pencaplokan adalah keluarga yang rumahnya saja dua berdempetan (dijadikan satu), menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak kekurangan. Saya yakin mereka juga merasa demikian, kecuali untuk satu hal, yaitu tempat parkir. Mungkin karena mobilnya terlalu banyak. [caption id="attachment_167877" align="aligncenter" width="614" caption="Fasum untuk tempat parkir pribadi"]

13325009711147178846
13325009711147178846
[/caption] Oleh karena itu, keluarga itu kemudian 'berfikir kreatif' dengan memasang paving block di bahu jalan di seberang rumahnya. Memang tidak ada tanda dilarang parkir kecuali penghuni/tamu rumah itu, tapi sejauh yang saya tahu, hanya mobil-mobil mereka yang kerap diparkir di tempat itu. Kasus kedua tidak jauh dari lokasi tersebut. Kali ini kelihatannya pemilik rumah sangat hobi berkebun, tetapi kekurangan lahan. Mereka juga 'berfikir kreatif' dengan menanam pohon mangga dan beberapa tanaman buah lain di bahu jalan seberang rumahnya. Sampai titik itu sih oke-oke saja. Masalahnya adalah, mereka kemudian membuat pagar di sekelilingnya (lihat Gambar 3), sehingga jelas menutup akses orang lain ke area itu. [caption id="attachment_167880" align="aligncenter" width="614" caption="Fasum untuk kebun pribadi"]
13325016851209072992
13325016851209072992
[/caption] Jadi, ketika seseorang merasa telah melakukan "investasi" dengan membangun sesuatu di lahan yang sebenarnya bukan miliknya, langkah berikutnya yang mereka ambil adalah berusaha menutup akses orang lain terhadap areal itu. Contoh paling nyata ada di Gambar 4. [caption id="attachment_167879" align="aligncenter" width="614" caption="Orang lain dilarang memanfaatkan (padahal fasum)"]
13325010691650374956
13325010691650374956
[/caption] Di bahu jalan yang sudah disulap menjadi area parkir itu ada papan bertulisan "Khusus Parkir Salon Stevani" (lihat tanda panah di gambar itu). Ya, di seberang jalan itu memang ada sebuah salon cukup besar bernama "Stevani". Sebagaimana di contoh sebelumnya, pemilik salon itu yang membangun tempat parkir di areal yang sebenarnya merupakan bahu jalan, seraya tak lupa memasang larangan bagi orang lain (selain pemilik/pengunjung salon). Itu semua yang saya sebut sebagai "pencaplokan" fasilitas umum untuk kepentingan pribadi. Saya yakin, kalau kita perluas wilayah pengamatan (bukan hanya bahu jalan, dan bukan hanya di lingkungan tempat tinggal), kita akan menemukan kasus serupa. Bahkan tidak sedikit pelakunya sama sekali tidak merasa bersalah. Ketika ditegur, tidak jarang mereka malah lebih galak dibandingkan orang yang menegur itu. Himbauan saya hanya dua. Pertama, bagi pemerintah daerah, kalau sudah punya peraturan, tolong peraturan itu ditegakkan. Setidaknya, jangan memberi kesempatan kepada orang untuk menguasai dan memanfaatkan fasilitas umum untuk keperluan pribadi secara permanen. Kedua, bagi "kita-kita", saya hanya bisa menghimbau dan mengajak, mari menghentikannya. Hal seperti itu jangan menjadi 'budaya'. Taman atau jalan di depan rumah kita, misalnya, itu bukan milik kita pribadi. Itu milik orang banyak, sehingga setidaknya, ketika akan memanfaatkan fasilitas umum untuk keperluan pribadi, kita perlu berbicara atau minta izin ke orang-orang di sekitar kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun