Mohon tunggu...
Edy Priyono
Edy Priyono Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja peneliti, juga sebagai konsultan individual untuk berbagai lembaga. Senang menulis, suka membaca. Semua tulisan di blog ini mencerminkan pendapat pribadi, tidak mewakili institusi apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

GBS: Blues Rasa Indonesia, Kelas Dunia

11 Maret 2012   01:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:14 1947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak yang bermain (musik) blues di Indonesia, tapi sungguh sangat sedikit yang memainkan dan melantunkannya secara lantang, konsisten dan fanatik seperti Gugun (Muhammad Gunawan). Maaf, sebelum terlanjur jauh, jangan keliru dengan Gugun Gondrong yang punya nama asli sama dengan Gugun yang pemain blues ini. Sejak pertama merantau ke Jakarta dari tanah asalnya di Sumatera, Gugun sudah dan hanya bermain blues. Dia seolah tak peduli dengan popularitas (dan implikasinya: uang), yang penting adalah bermain musik yang menurutnya 'benar'. Saya sendiri penikmat segala jenis aliran musik, dari klasik (khususnya Mozart, Bach, atau Beethoven), pop Jawa/campursari, pop Sunda (khususnya yang dibawakan Neneng Meida), keroncong, dangdut-nya Rhoma Irama, rock dengan segala varians-nya termasuk new rock ala Linkin Park, heavy metal, jazz,  sampai lagu pop biasa (mainstream). Semua saya punya kaset atau CD-nya, setidaknya satu untuk setiap aliran musik. Jadi, saya juga punya CD Gugun Blues Shelter (GBS) yang bertajuk "Turn It On" yang saya beli sekitar dua tahun lalu. Menurut saya album itu bagus, beberapa lagu sangat bisa dinikmati, bahkan oleh seorang yang bukan penggemar setia musik blues seperti saya. Permainan Gugun, yang menurut beberapa orang seperti kombinasi antara Jimi Hendrix dengan Steve Ray Vaughan -- dua di antara beberapa pentolan blues dunia, juga sangat bisa dinikmati. Tapi saya belum berniat untuk membeli album lain GBS, sampai kemudian saya terprovokasi oleh majalah Rolling Stone Indonesia (RSI). Oleh RSI edisi Januari 2012,  album GBS berjudul "Satu Untuk Berbagi" dinobatkan sebagai album Indonesia terbaik tahun 2011. Bukan album terbaru mereka, memang, tapi label sebagai album terbaik 2011 yang diberikan RSI itu yang membuat saya tertarik untuk membelinya sekitar dua bulan lalu. Terus terang, sebenarnya saya masih agak ragu dengan penobatan itu, karena saya tahu banget RSI suka sekali mengangkat jenis-jenis musik yang di luar mainstream, yang kalau dalam konteks sekarang itu artinya musik di luar pop menye-menye, atau K-pop yang sering muncul di TV tanpa henti itu. Dari majalah itu pula saya mengenal beberapa penyanyi/grup musik Indonesia yang tidak terlalu terkenal (populer) tapi memiliki kualitas musik yang bagus seperti: Endah & Rhesa, Bangku Taman, Efek Rumah Kaca, Frau, White Shoes & Couple Company, dsb. Termasuk juga GBS (Gugun Blues Shelter). "Prasangka baik"-lah yang membuat saya mengeluarkan dompet untuk album itu. GBS --atau khususnya: Gugun-- sendiri, menurut penilaian saya, merupakan grup musik yang masih terus mencari jati diri di tengah hingar-bingar musik pop. Pertama, sederhana, soal nama. Anggota lain dalam GBS sama sekali tidak keberatan dengan "Gugun" yang menjadi nama band, karena menurut Jono -- pemain bass, nama aslinya Jonathan Armstrong, bule asli Inggris-- memang Gugun lah 'nyawa' grup ini. Jadi, terkait nama, bukan soal "Gugun"-nya, tapi soal "Blues Shelter". Sebelumnya mereka memakai "Blues Bugs", tapi ternyata nama itu sudah 10 tahun dipakai sebuah band asal Yunani. Kalau hanya main di Indonesia, mungkin itu tak masalah, tapi kalau ke luar negeri, akan lain ceritanya. Sejak itu, "Blues Bug" diganti dengan "Blues Shelter". Akan tetapi, ketika mulai melangkah ke beberapa panggung di luar negeri, Gugun mendapat masukan bahwa dalam Bahasa Inggris, kata  "shelter" berkonotasi agak negatif, yaitu tempat penampungan tunawisma, padahal maksud Gugun ketika memberi nama band jauh dari itu. Kemudian ada yang menyarankan agar mereka memakai nama "Gugun Power Trio", karena mereka memang hanya bermain bertiga (Gugun, Jono, plus Bowie sang penggebuk drums yang nama aslinya adalah Aditya Wibowo). Tapi tampaknya nama  itu juga tidak sepenuhnya dirasa cocok. Mereka akhirnya kembali ke nama "Gugun Blues Shelter", tapi juga tak membuang "Power Trio". Pergulatan soal nama itu seolah menggambarkan seluruh pergulatan dalam GBS. Yang penting, kalau suatu saat menemukan "Gugun Power Trio" atau "Gugun Blues Shelter" jangan heran, orangnya itu-itu juga. Yang kedua terkait orientasi pasar. Meskipun sejak awal tahu bahwa musik blues 'susah dijual', bukan berarti GBS tidak peduli sama sekali dengan jumlah CD yang terjual. Perlu diketahui, GBS punya penggemar fanatik di Indonesia. Mereka bahkan rela mengikuti ke blues bar mana saja GBS bermain, dan yang lebih mengejutkan: sebagian di antaranya adalah bule alias orang asing. Tambahan lagi, musik blues di luar negeri (katakanlah: AS dan Inggris) lebih laku dijual dibandingkan di Indonesia. Oleh karena itu, GBS sempat berada di persimpangan jalan, mau mencoba menembus pasar luar negeri, atau 'berkompromi' dalam pusaran Inbox/DahSyat/DeRings. Selain musiknya bagus, mereka punya modal lain pada diri Jono. Sebagai orang asli Inggris, Jono sangat membantu Gugun dalam memoles lirik-lirik lagu GBS yang sebagian di antaranya memang berbahasa Inggris. Selain itu, dia sangat membantu dalam berkomunikasi dengan calon rekanan di luar negeri. Jono paling rajin mengunggah video GBS melalui Youtube dan berinteraksi dengan fans asing melalui situs itu. Pada Juni 2011, GBS menjadi band pembuka pada konser Bon Jovi di Hyde Park, London, sebuah prestasi yang kadang diremehkan karena hanya berstatus "pembuka", tapi sungguh tidak mudah diraih oleh sebuah band dari Tanah Melayu.. Si sisi lain, GBS juga pasti sadar, bahwa Indonesia adalah pasar yang besar bagi industri musik. Mampu menarik satu persen dari penggemar musik Indonesia saja, misalnya, itu mungkin sudah sama dengan menguasai seluruh pasar musik di Singapura. Kalau tujuannya adalah menjual musik, mengapa mesti repot-repot ke luar negeri? Jadi, ketika --akhirnya-- GBS mampu menembus acara DahSyat di RCTI, saya melihatnya sebagai wujud kemampuan GBS untuk 'berkompromi' dengan pasar, dan di sisi lain sebagai sinyal bahwa GBS ingin lebih banyak bermain di Indonesia. Selain itu, dipertahankannya nama "Blues Shelter" menguatkan indikasi itu, karena memang di Indonesia sama sekali tidak ada yang mempersoalkan konotasi 'negatif' dalam istilah tersebut. Lebih jauh lagi, kenyataan bahwa lagu-lagu dari album "Satu Untuk Berbagi" sekarang bisa dinikmati/diunduh sebagai RBT --meskipun saya yakin betul mereka tak akan bisa mengalahkan, katakanlah: Wali, di sektor itu, semakin menegaskan bahwa GBS serius menggarap pasar musik Indonesia. Dalam suasana seperti itulah album "Satu Untuk Berbagai" lahir. Total ada 15 track dalam album itu, enam di antaranya berlirik Bahasa Inggris. Secara umum, tidak ada yang 'mengejutkan' dalam materi album itu, dalam pengertian memang sesuai dengan 'standar Gugun' yang selama ini dikenal. Bahkan kalau mau jujur, saya masih lebih bisa menikmati album "Turn It On" dibandingkan "Satu Untuk Berbagi". Meskipun demikian, setidaknya ada dua lagu yang patut digarisbawahi. Pertama adalah "Basa Basi", sebuah lagu kritik sosial, sebuah tema yang sangat jarang diangkat oleh Gugun. Lewat lagu itu, Gugun mengeluh: apa jadinya negeri ini // jika harus berbasa basi // yang kumau kepastian //  ... setiap hari kulihat TV // banyak orang berbasa basi //.. Kalau lirik itu keluar dari seorang Iwan Fals, tentu saja tak ada yang 'aneh'. Tapi kalau untuk Gugun, setidaknya itu menunjukkan bahwa musik blues tidak harus melulu bicara tema cinta dalam syair sederhana di tengah raungan gitar elektrik, tapi juga mampu mengusung tema-tema 'pencerahan' bagi pendengarnya. Meski masih bertema cinta, lagu "Mobil Butut" juga menarik, baik dari sisi lirik maupun musiknya. Coba lihat: ..suatu hari pacarku bosan // bau pengap mobil bututku // dia tendang dashboard mulusmu // terasa pilu dalam hatiku.. Juga: ..walau dirimu sudah tua // tapi kau tak mengenal lelah // begitu juga dengan pacarku// tak kan kulepas.. Melalui album ini, sekali lagi Gugun membuktikan permainan gitarnya memang kelas dunia.. Menjadi lebih menarik ketika, di sisi lain, musik yang diusungnya semakin meng-Indonesia. Jadilah, blues rasa Indonesia yang kelasnya dunia.. [caption id="attachment_165648" align="aligncenter" width="582" caption="Cover album "][/caption] Satu yang sangat 'mengganggu' dari album ini adalah cover-nya yang jelek: sama sekali tidak artistik! (lihat Gambar). Foto di bagian dalam kemasan album, menggambarkan tiga anggota GBS di dalam studio rekaman, malah masih lebih cocok dijadikan cover ketimbang cover beneran-nya. Benar, ada pameo "don't judge the book by its cover", tapi cover tetap komponen penting dari sebuah album musik. Penggemar fanatik mungkin tak akan peduli dengan itu, tapi demi para "floating fans" ada baiknya GBS memberi perhatian lebih besar pada sisi ini. Hal lain yang patut menjadi catatan adalah antisipasi terhadap kejenuhan para penikmat musik. Menurut saya, GBS agak terlalu sering mengeluarkan album. Setelah "Satu Untuk Berbagi", akhir tahun 2011 GBS mengeluarkan lagi "Solid Ground". Orang bisa bosan, atau setidaknya kehilangan rasa penasaran. Apalagi praktis hampir semua lagu ditulis oleh Gugun. Jangan lupa, lagu mencerminkan cara bertutur, dan sangat tidak mudah mengubah cara bertutur. Artinya, kalau dibiarkan terus, orang akan cepat bosan dengan cara bertutur Gugun. Ada baiknya GBS mempertimbangkan untuk berkolaborasi dengan pemusik lain. Kolaborasi dengan Once sebagai vokalis di beberapa panggung terbukti sukses, sehingga tak ada salahnya dicoba di 1-2 lagu dalam album rekaman. Demikian juga kemungkinan kolaborasi dengan pemusik lain, termasuk mencoba membawakan lagu yang diciptakan oleh orang lain, maksudnya: selain Gugun. Maju terus, GBS! Maju terus musik Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun