Mohon tunggu...
Edy Priyono
Edy Priyono Mohon Tunggu... profesional -

Pekerja peneliti, juga sebagai konsultan individual untuk berbagai lembaga. Senang menulis, suka membaca. Semua tulisan di blog ini mencerminkan pendapat pribadi, tidak mewakili institusi apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pendekar Tongkat Emas, Film Bagus Meski Tak Istimewa

3 Januari 2015   07:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:55 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1420218691599772575

Yang juga menarik adalah pendekatan yang dipakai dalam casting. Setelah era "aktor dilatih silat" di jaman Ratno Timoer (serial "Si Buta dari Goa Hantu"), film Indonesia sempat beralih ke pendekatan "pesilat dilatih akting". Itu terjadi di era Advent Bangung (eks karateka nasional dan aktor di serial "Jaka Sembung"), Lamting (eks taekwondoin nasional, main di sinetron "Saur Sepuh" atau cerita turunannya) dan Iko Uwais (pesilat yang main di 'The Raid").

PTE memilih pendekatan 'era Ratno Timoer', yaitu membekali aktor/aktris  dengan kemampuan beladiri, setidaknya pada level yang cukup untuk berakting dengan (terlihat) alamiah. Hasilnya tak sia-sia. Para pemain terlihat mampu berakting silat dengan baik. Ya, saya tahu, tentu saja dengan dukungan editing dan special effect, tapi tak percuma Mira mendatangkan instruktur laga dari Hong Kong.

Saya harus memberi pujian pada permainan Reza Rahardian yang bisa terlihat bengis dan jahat ketika memerankan Biru, sebuah karakter yang sangat berbeda dengan film-film yang dia perani sebelumnya. Aria Kusumah juga bermain bagus sebagai Angin, sangat natural. Saya sampai penasaran yang mencari informasi tentang Aria. Setelah kesulitan, saya harus cukup puas hanya dengan menemukan akun Twitternya(@ariakusumah_s).

Christine main standar (artinya bagus seperti biasanya). Tara agak terlihat canggung, sedangkan Eva tidak terlihat istimewa tapi punya potensi. Nicholas Saputra bermain standar, tak jauh dari sosok Rangga yang dingin dalam AADC.

Dari sisi penggarapan, PTE sangat memperhatikan detil, terutama untuk urusan kostum dan setting adegan. Saya sebenarnya menunggu munculnya apel Washington dan 'makanan masa kini' lain dalam adegan makan seperti yang sering terlihat di sinetron silat kita. Syukur Alhamdulillah, 'keanehan' seperti tidak muncul..

Meski demikian, tetap ada beberapa hal yang terasa mengganggu, terutama dari sisi logika. Pertama, bagaimana bisa pendekar sakti seperti Cempaka sama sekali tidak sadar diracun perlahan-lahan oleh muridnya sendiri (Gerhana) yang tinggal di lingkungan yang sama?

Kedua, di bagian akhir cerita, penonton melihat bahwa Gerhana dan Biru mempunya anak berumur sekitar lima tahun (yang akhirnya dijadikan murid oleh Dara setelah Gerhana dan Biru tewas). Artinya, ada waktu sekitar 5-6 tahun sejak penyerahan tongkat emas sampai ke tewasnya Gerhana/Biru. Sayangnya, itu sama sekali tak tercermin di penampilan dan wajah para pemain, khususnya Dara dan Gerhana. Padahal, dengan sedikit polesan make up, detil kecil seperti itu bisa ditangani dengan mudah.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saya menganggap "Pendekar Tongkat Emas" sebagai film bagus, meskipun tidak bisa dibilang istimewa. Dalam skala 0-10, saya dengan senang hati memberi nilai 7,5.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun