Sengatan Setrum yang Melepas Punai di Tangan
Oleh Edy Mulyadi
Jebret, tarif listrik untuk golongan industri naik. Lalu, industri bakal dihajar rugi Rp8,9 triliun! Angka ini adalah hasil kalkulasi Kementerian Perindustrian terhadap imbas naiknya tarif listrik bagi industri yang mulai dirilis awal Mei ini.
Seperti diketahui, pemerintah menaikkan Rinciannya begini. Untuk industri golongan I-3 (go public) dengan daya di atas 300 Kva, naik 38,9%. Sedangkan buat industri besar golongan I-4 dengan daya 30 ribu Kva ke atas, tarifnya dikerek naik 64,7%.
Menurut pemerintah, kenaikan ini tidak bisa sudah jadi keharusan. Pasalnya, tarif itu sudah masuk dalam sebuah Undang-undang (UU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014, termasuk di tentang subsidi listrik untuk PT PLN (Persero) yang bisa dihemat Rp8 triliun. Artinya, ya tidak bisa dihindari lagi.
Dampak dari beleid ini langsung bisa ditebak. Pengusaha meradang. Protes dengan berbagai bentuknya pun disemburkan. Mulai dari curhat kepada media, hingga rencana mau lapor ke Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. Paling tidak, inilah yang dilakukan anak-anak muda yang tergabung dalam Hmpunan Pengusaha Muda Indonesia (HPIMI).
Tapi upaya lapor ke Hatta sepertinya bakal membentur tembok. “Kalau mau dibicarakan sebelum masuk ke UU APBN 214 ya monggo saja. Silakan berdebat sampai habis. Tapi kalau sudah diputuskan dan menjadi UU, ya harus jalankan,” tukas menteri yang rambutnya sudah putih semua itu.
Good cop, bad cop
Tapi, sepertinya keputusan menaikkan tarif listrik di kalangan pemerintah tidak bulat bundar. Isyarat itu terendus dari pernyataan Menteri Perindustrian MS Hidayat. Meski memberatkan, kata bekas Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini, keputusan pemerintah menaikkan tarif listrik untuk kedua golongan industri tadi harus dihormati. “Sebagai pemerintah, saya secara resmi harus menghormati mentaati keputusan pemerintah,” kilahnya. Hmm... sebuah pernyataan yang gimanaaa, gitu!
Namun sebagai pejabat publik yang bertanggung jawab atas merah-hitamnya industri di negeri ini, Hidayat berusaha meminimalisasi dampak negatifnya. Dia mengaku tengah merumuskan kompensasi untuk pelanggan listrik yang mengalami kenaikan tarif listrik mulai 1 Mei 2014. Sedang dihitung kompensasi kepada para pelanggan golongan I-3 dengan daya di atas 300 kilovolt (kVA) yang sudah go public. Selain itu, juga untuk pelanggan Industri besar I-4 daya 30 ribu kVA. Tujuannya, guna menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat sengatan tarif listrik.
Tapi publik, khususnya pengusaha, sudah paham betul tabiat pemerintah. Yang namanya koordinasi antarinstansi adalah barang teramat mewah di negeri ini. Hidayat boleh saja manggut-manggut mengamini kebijakan ini. Tapi lewat jalur lain, suara keberatan Kemenperin tetap menemukan corongnya. Adalah Benny Soetrisno, staf Khusus Menperin yang nyaring bersuara. Menurut dia, instansinya memastikan nilai kerugian yang menghantam industri sebagai dampak naiknya tarif listrik jauh lebih besar ketimbang penghematan anggaran negara Rp8 triliun.
Dia mengaku sudah mengkonfirmasi hal ini ke PLN. Dari pabrik setrum itu, Benny yang juga Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) itu dapat informasi, bila kenaikan tarif listri industri tadi dimulai 1 Januri 2014, memang bisa dihemat Rp8 trilun. Tapi jika mulainya 1 Mei 2014, maka fulus yang dihemat cuma Rp5,6 triliun.
Sehubungan dengan itu, kata Benny, jelas tidak seimbang dampak kenaikan tarif listrik bagi industri dengan penghematan yang dihasilkan. Kerugian di sektor hulu jelas jauh lebih tinggi. Langkah paling sederhana, industri bakal mengurangi produksinya. Pada bagian lain, bukan tidak mustahil mereka malah menutup pabrik. Ngancam, nih?
Berdasar laporan asosiasi kepada Kemenperin, sejumlah sektor yang bakal (makin) babak belur antara lain kelompok industri logam (besi baja, aluminium, tembaga, nikel), kelompok industri petrokimia hulu, antara dan hilir, kelompok industri bahan galian nonlogam (semen, keramik, kaca), dan kelompok industri tekstil dan aneka (produk tekstil, kulit, sepatu).
Kontribusi listrik terhadap struktur biaya produksi pada kelompok industri logam mencapai 10%-15%. Ini artinya gawat. Produsen baja, misalnya. Saat ini industri baja sedang tertekan lantaran merugi. Beberapa di antaranya malah menutup sebagian fasilitas produksinya dan merumahkan karyawannya. Langkah ini diambil karena mereka terthok naiknya upah, kenaikan harga energi, tingginya nilai tukar rupiah, dan kondisi pasar yang sedang turun selama dua tahun terakhir.
Dalam soal ancam-mengancam, pengusaha memang paling lihai. Sofjan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) adalah jawaranya. Dia menilai kenaikan hingga 64% itu terlalu tinggi, terutama bagi industri golongan I-3. Pemilik kelom bisnis Gemala ini juga mengingatkan pemerintah akan dampak yang dialami pelaku industri akibat kenaikan tarif ini serta efeknya terhadap pertumbuhan industri nasional.
Kenaikan tarif listrik juga pasti akan diikuti kenaikan harga barang, industri mengurangi kapasitas produksi. Bahkan bukan mustahil industri bakal tutup pabrik karena tidak bisa bersaing dengan barang impor. Dampak lanjutannya, terjadi PHK buruh. Kalau sudah begitu, tidak ada lagi yang mau investasi di industri hulu. Rangkaian dampak buruk itu adalah kalimat lain dari ancaman yang disemburkan. Biasa, lah...
Tapi terlepas dari tabiat pengusaha yang anteng ayem dan diam seribu bahasa saat menangguk laba, dan berteriak keras ketika diterpa masalah; satu hal yang hampir pasti, kenaikan tarif listrik ini akan segera diiringi terkereknya harga berbagai barang. Alasannya gampang saja, pengusaha pasti bakal melimpahkan beban ini kepada konsumen. Dampaknya, ya itu tadi, harga-harga melambung.
Berapa persisnya? Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo memperkirakan inflasi bakal bergerak di kisaran 4,5% dengan plus minus 1%. Namun khusus bagi kalangan industri, naiknya tarif listrik ini industri cukup tinggi.
Menteri Keuangan Chatib Basri juga senada. Meski begitu, imbasnya terhadap inflasi tidak akan sedahsyat kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Bahkan dengan pe-denya memastikan Indonesia akan mencatatkan deflasi pada Mei ini.
Pak Menteri, rakyat tidak ‘makan’ statistik. Mereka tidak paham angka-angka. Yang rakyat tahu, harga-harga terus saja berlomba naik, nyaris tiap hari. Rayat sudah terlatih berakrobat ria guna menyiasati kesulitan hidup yang kian hari kian mengimpit. Tapi jangan khawatir, rakyat sudah biasa dan terlalu kebal menderita. Rakyat bahkan sudah terbiasa menghadapi berbagai beban sendirian tanpa cawe-cawe pemerintah yang berusaha meringankan beban. Tenang saja...
Dengan skenario seperti ini, langkah menaikkan tarif listrik bagi industri dengan maksud menghemat subsidi listrik, ibarat mengharap burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan. Subsidi Rp8 triliun tidak di dapat, industri rugi jauh lebih besar, rakyat makin termehk-mehek menanggung beratnya beban hidup karena naiknya harga-harga!
Jakarta, 9 Mei 2014
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economy and Democracy Studies (CEDeS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H