Mohon tunggu...
edy neneng
edy neneng Mohon Tunggu... -

Media Trainer, Konsultan dan Praktisi PR

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mau Balik ke Istana, Pak?

7 Maret 2014   02:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:09 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

”Mau Balik ke Istana, Pak?”

oleh Edy Mulyadi*

[caption id="attachment_315534" align="alignleft" width="300" caption="Calon Presiden Rizal Ramli ngobrol santai sambil makan siang bareng dengan sekitar 30an fotografer media di Jakarta, Ahad (6/3)"][/caption]

Judul tulisan ini adalah pertanyaan yang disorongkan seorang fotografer berkaus hitam, berambut ikal, gondrong sebahu kepada Rizal Ramli, di Kamis siang yang panas (6/3). Mereka makan siang bersama, di tenda pinggir kali Gresik, persis di seberang eks Kedutaan Besar Inggris, Jl Sutan Sjahrir, Jakarta Pusat.

Insya Allah. Tolong bantu doanya ya,” tukas tokoh yang sejak mahasiswa dikenal gigih mengusung ekonomi konstitusi ini dengan tersenyum sambil menyeruput air putih yang dipegangnya.

Ya, siang itu calon presiden peserta Konvensi Rakyat 2014 yang akrab disapa RR1 tersebut menyambangi sekitar 30-an fotografer media di ‘markas’ mereka. Yang dimaksud markas tadi cuma sebuah tenda plastik warna biru di jalur hijau, yang letaknya pas di belakang pos polisi Bunderan Hotel Indonesia (HI) Obrolan dengan para ‘mat kodak’ pun berlangsung santai tapi juga meriah. Berkali-kali terdengar tawa meledak dari bawah tenda yang empat ujungnya dibentang tali rafia yang diikatkan ke pohon-pohon di sekitarnya. Pada bagian tengah tenda, ada sebatang bambu sepanjang 2 meter yang menopang agar kepala tidak menyundul. Supaya tenda tidak cepat sobek,  pada ujung bambu diletakkan botol bekas air mineral. Sungguh, pemandangan yang seru!

Menko Perekonomian era Gus Dur yang sukses melakukan serangkaian kebijakan terobosan itu tampak duduk santai menyuap nasi dan lauk di piring yang ada di depannya. Duduk di bangku kayu panjang, di kanan kirinya ada wartawan dari dua media nasional. Sedangkan di bagian depan, sejumlah fotografer nasional dan lokal yang bertugas di Jakarta, sibuk bertanya dan menimpali penjelasannya. Mereka dipisahkan meja kayu berukurang 60 cm x 3 m yang permukaannya ditutupi plastik digital printing bekas spanduk. Namanya juga fotografer, kendati asyik ngorol, toh berkali-kali mereka membidikkan kameranya mencari angel yang pas dari ‘adegan demi adegan’ sang Capres.

Masih tentang pertanyaan sang fotografer gondrong tadi, Rizal Ramli akhirnya memang banyak bercerita tentang visi, misi, dan programnya jika kelak Allah SWT kehendaki dia menjadi Presiden. Sebagai ekonom andal, dia paham persis persoalan ekonomi yang membelit negeri ini. Dia juga tahu bagaimana cara menyelesaikannya.

“Kita harus mencari presiden yang bisa memecahkan masalah. Bukan presiden yang justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Saatnya presiden ke depan benar-benar bekerja dengan kemampuan dan hatinya untuk memakmurkan rakyat Indonesia. Kasihan, walau sudah lebih dari 68 tahun merdeka, lebih dari 80% rakyat kita belum menikmati arti kemerdekaan. Ini yang harus kita angkat,” paparnya, kali ini dengan mimik lebih serius.

Rizal Ramli juga bercerita tentang kehidupan Istana. Maklum, sebagai menteri yang diserahi tugas strategis dan vital, dia sering bolak-balik ke istana menemui Gus Dur. Dari sini banyak mengalir kisah-kisah seru dan lucu sang presiden, baik ketika memimpin rapat kabinet maupun saat menerima tamu para kepala pemerintah dan kepala negara sahabat. Tak pelak lagi, suasana pun jadi kian meriah dengan ger-geran tawa.

Tidak ada obrolan serius antara Menteri Keuangan yang pernah menuntaskan pembahasan RAPBN dalam tempo tiga hari itu dan para fotografer. Tidak ada angka-angka atau data njelimet yang membuat kening berkerut khas obrolan ekonom. Padahal, sebagai ekonom senior, kapasitas dan integritas Rizal Ramli sungguh tidak bisa diragukan lagi. Sampai kini, misalnya, dia masih menjadi penasehat ahli Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bersama tiga penerima nobel di bidang ekonomi lainnya.

Suasana akrab dan cair memang langsung terbangun sejak obrolan pertama. Para fotografer tadi juga bercerita tentang banyak hal, termasuk suka duka dalam bertugas. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 13.30. Sudah hampir 90 menit obrolan berlangsung. Tapi orang-orang ‘separuh’ seniman tersebut masih saja bersemangat bertanya ini-itu kepada tokoh yang pernah menyelamatkan Bank Internasional Indonesia (BII) dari crash tanpa menyuntikkan serupiah pun itu.

“Saya selama ini tidak begitu kenal pak Rizal. Soalnya, saya banyak ditugaskan di rubrik metro atau ibukota. Sedangkan beliau lebih banyak bersentuhan dengan masalah-masalah ekonomi. Tapi siang ini saya banyak mendengar pikiran dan gagasan berharga darinya. Sebagai seorang calon presiden, saya kira pak Rizal layak dan bagus kalau menjadi pemimpin,” ujar seorang wartawan berbaju kotak-kotak merah-hitam.

”Mau balik ke Istana, pak…?” (*)

Jakarta, 6 Maret 2014

Edy Mulyadi, Jurnalis Warga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun