BUMI, Gali Lubang Tutup Empang?
Oleh Edy Mulyadi*
Gali lobang tutup empang. Mungkin plesetan paribahasa ini cocok dengan langkah korporasi PT Bumi Resources, Tbk hari ini (7/5). Betapa tidak, perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie (Ical) ini tiba-tiba saja mengumumkan akan menerbitkan saham baru melalui mekanisme hak pemesanan efek terlebih dahulu (HMETD) alias right issue sebanyak 26,17 miliar lembar saham. Rencananya, saham baru itu akan dilego pada harga Rp250/lembar. Jika langkah ini sukses, emiten berkode BUMI ini akan mendulang fulus Rp6,54 triliun!
Bakal punya banyak duit, dong? Tidak juga. Pasalnya, sebagian besar duit publik yang bakal diraup itu akan digunakan untuk membayar utang-utang BUMI yang segede gajah bunting berpenyakit beri-beri, dan disengat tawon pula. Itulah sebabnya, plesetan paribahasa yang aslinya berbunyi ‘gali lobang tutup lobang’ tadi, seperti pas untuk menggambarkan corporate action BUMI.
Menurut prospektus yang dirilis, perusahaan tambang batubara itu akan menggunakan dana hasil right issue-nya untuk membayar utang kepada tiga perusahaan. Pertama, utang kepada China Investment Corporation (CIC), sebesar US$150 juta. Jumlah ini setara dengan Rp1,72 triliun. Asal tahu saja, utang tersebut diperoleh melalui Country Forest Limited (CFL) pada 18 September 2009. Seiring berjalannya waktu, total sisa pinjaman masih tersisa US$1,3 miliar. Dari jumlah itu, US$600 juta di antaranya akan jatuh tempo 18 September tahun ini. Sedangkan US$700 juta sisanya harus dilunasi sebelum 18 September tahun depan.
Berdasarkan tabiatnya, BUMI memang doyan ekspansi. Sayangnya langkah ini dilakukan tidak dengan kas sendiri, melainkan lewat menjala utang. Contohnya, pinjaman dari CIC tersebut digunakan untuk membayar saldo utang yang timbul dari akuisisi tidak langsung atas kepemilikan saham BUMI di PT Darma Henwa Tbk. (DEWA), PT Fajar Bumi Sakti, dan PT Pendopo Energi Batu bara. Nah sisa pinjaman itu, digunakan juga untuk pembayaran utang-utang sebagian anak usaha. Sisanya baru buat modal kerja dan keperluan operasional umum BUMI.
Kembali ke hasil right issue kali ini, jika BUMI membayar US$150 juta dari US$1,3 miliar utangnya ke CIC, maka masih ada US$1,150 miliar lagi sisanya. Dengan kurs kurs tengah Bank Indonesia (BI) hari ini yang Rp11.527 per dolar AS, maka sisa utang itu setara dengan Rp13,256 triliun! Sekadar mengingatkan saja, utang ke CIC yang masih US$1,3 miliar itu sudah turun dibandingkan dengan posisi akhir 2013 yang mencapai US$1,78 miliar. Bisa jadi dalam rentang waktu itu, BUMI sudah membayar US$480 juta.
Kedua, utang lainnya yang akan dilunasi adalah kepada Castleford Investment Holdings Ltd sebesar US$150 juta atau setara Rp1,72 triliun. Dulu, pinjaman ini diperoleh pada 14 November 2013, yang, lagi-lagi, digunakan untuk ekspansi anak usaha.
Sedangkan yang ketiga, sebesar US$225 juta atau senilai Rp2,58 triliun untuk membayar sebagian guaranteed convertible bond due 2014 serta beberapa fasilitas utang BUMI kepada para kreditur lain. Surat utang tadi diterbitkan pada 5 Agustus 2009.
Jika ada sisa dana dari hasil rights issue, sekali lagi; jika ada sisa, manajemen akan menggunakannya untuk modal kerja.
Paska right issue kali ini, jika sukses, utang BUMI kepada CIC saja masih sekitar Rp13,256 triliun. Jumlah ini tidak termasuk utang kepada beberapa kreditur lain dan sisa kewajiban obligasi yang diterbitkan sebelumnya. Taruhlah kita tutup mata dengan berbagai kewajibannya terhadap pemberi utang lainnya tadi, maka dana hasil right issue yang Rp6,54 triliun itu seperti ditelah pasir saja. Gali lobang untuk menutup empang? Ehem...
Tulisan ini berkali-kali menambahkan frase ‘kalau sukses’ memang bukan tanpa dasar. Pasalnya, saham baru itu bakal dilego pada Rp250/lembar. Padahal, harga saham BUMI di pasar kemarin ditutup pada RP196/lembar. Artinya, ada selisih harga Rp54/lembar. Sebagai perbandingan saja, pada 6 mei 2008, harga saham perusahaan yang pernah jadi mesin uang kelurga Bakrie ini pernah menyentuh Rp6.800/lembar.
Kinerja BUMI dalam dua tahun terakhir ini juga bisa dibilang jeblok. Pendapatan perseroan 2013 tercatat US$3.547,32 juta. Dibandingkan tahun sebelumnya yang US$3.775,52 juta, walau tipis jelas ada penurunan. Laba usaha juga menciut dari US$432,28 juta tahun 2012 jadi US$230,05 juta. Lalu, nah ini yang tidak kalah pentingnya, dalam dua tahun berturut emiten ini mengalami rugi telak, masing-masing US$666,21 juta (2012) dan US$609,01 (2013).
Awan mendung tampaknya masih tetap akan membayangi BUMI. Kinerja yang di bawah banderol itu, masih mendapat ancaman dari belum pulihnya harga batubara di pasar internasional. Penyebabnya, konsumsi batubara China masih terus menyusut. Maklum, Negeri Tirai Bambu ini adalah konsumen emas hitam yang paling rakus di dunia.
Tekanan lain juga datang dari dalam negeri. Pemerintah dikabarkan segera menerbitkan beleid pembatasan ekspor batubara. Hal paling menyeramkan dari rencana pemerintah itu adalah pembatasan ekspor batubara. Kebijakan tersebut ditempuh lewat tiga cara. Pertama, mematok pertumbuhan produksi batubara nasional maksimal 1% per tahun. Kedua, menentukan kuota produksi setiap provinsi dan kalori. Ketiga, memberi wewenang provinsi dan kabupaten/kota untuk menetapkan kuota produksi bagi masing-masing perusahaan.
Tak pelak lagi, ke depan makin banyak hantu menyeramkan bakal mengepung batubara. Pertanyaanya, adakah investor yang mau merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli saham emitendengan kewajiban utang segede gunung dan prospek yang aduh duh...? (*)
Jakarta, 7 Mei 2014
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economy and Democracy Studies (CEDeS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H