Mohon tunggu...
edy neneng
edy neneng Mohon Tunggu... -

Media Trainer, Konsultan dan Praktisi PR

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ekonomi Melambat dan Penyakit ‘Telmi’ Pemerintah

7 Mei 2014   18:35 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ekonomi Melambat dan Penyakit ‘Telmi’ Pemerintah
Edy Mulyadi*

Ekonomi Indonesia melambat. Demikian pesan yang disorongkan media nasional awal pekan ini. Bersumber dari data Badan Pusat Statististik (BPS), disebutkan ekonomi triwulan pertama 2014 hanya bertumbuh 5,21% secara tahunan (year on year). Dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang 5,78%, angka ini jelas turun lumayan tajam. Padahal, sejak kuartal-1 tahun 2012, ekonomi kita selalu bertengger di atas 6%.

Penurunan ini terjadi sebagai akibat kontraksi ekspor yang turun cukup dalam. Ekspor barang dan jasa pertumbuhannya turun 0,78%. Padahal pada periode triwulan pertama 2013 ekspor barang dan jasa masih tumbuh positif 3,58%. Ekspor yang melamban memang telah tergambar dari data ekspor Januari-Maret yang US$44,32 miliar, atau turun 2,42% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Merosotnya pertumbuhan ekonomi ini melengkapi tren penurunan yang sudah terjadi sejak dua tahuin silam. Sebagai perbandingan, pada triwulan pertama dan dua 2012, pertumbuhan ekonomi berhasil menembus 6,33%. Lalu turun tipis ke level 6,29% dan 6,26% pada triwulan tiga dan empat. Eh, gejala turun ini ternyata berlanjut dari 6,03% pada periode pertama menuju 5,78% pada periode terakhir 2013.

Kinerja ekonomi tersebut lebih rendah daripada harapan pemerintah yang 5,7%-5,8%. Tapi dasar pemerintah, menyikapi fakta tadi Menkeu Chatib Basri berkelit, perlambatan pertumbuhan, katanya, memang bagian dari strategi pemerintah untuk mengatasi current account alias defisit transaksi berjalan agar lebih sehat. Sayangnya, ‘strategi’ itu ternyata kebablasan. Pasalnya, tadinya pemerintah berharap kalau pun melambat, angkanya harus tetap di atas 5,5%. Apa boleh buat, ekonomi terus saja meluncur ke bawah.

‘Lampu kuning’

Pertanyannya, adakah pemerintah menjadikan angka-angka kurang ciamik itu sebagai pelajaran? Atau, jangan-jangan rezim ini beranggapan naik-turunnya perekonomian suatu negara sudah merupakan hal yang lazim? So, buat apa bersibuk ria memikirkan, apalagi meratapinya? Gitu aja, kok, repot!

Sejatinya pertanyaan seperti ini menjadi penting, terlebih lagi mengingat baru beberapa hari silam Indonesia diguyur puji-pujian setinggi langit. Bayangkan, negeri Jamrud Katulistiwa ini diganjar Bank Dunia masuk 10 ekonomi besar dunia berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP). Itu artinya, Indonesia sekarang (dianggap) sejajar dengan negara-negara yang selama ini tergolong negara maju. Lebih memabukkan lagi, konon, hanya ada dua negara Asia lain yang masuk dalam kategori 10 besar tadi, yaitu Tiongkok dan India.

Kalau saja para petinggi negeri ini tidak disibukkan dengan kalkulasi dan akrobat politik untuk menuntaskan syahwat kekuasaan, mungkin rakyat masih bisa berharap mereka bakal menyadari, bahwa ekonomi Indonesia mulai memasuki ‘lampu kuning’. Dari sini diharapkan para petinggi negeri memasang kuda-kuda sebagai antisipasi. Pasalnya, gejala-gejala bakal melorotnya perekonomian bahkan sudah nongol jauh sebelum ini. Pada 2013, umpamanya,sudah terjadi apa yang disebut dengan quatro-deficits sekaligus. Yaitu, defisit Neraca Perdagangan sebesar -U$6 miliar, defisit Neraca Pembayaran -U$9,4 miliar, deficit Balance Of Payments -U$6,6 miliar Q1-2013, dan defisit APBN plus utang lebih dari Rp2.100 triliun. Ini benar-benar sinyal berbahaya!

Bahkan, kalau saja sedikit memiliki sifat dan sikap kenegarawanan, bisa jadi pemerintah sudah bisa membaca tanda-tanda zaman ini sejak, sedikitnya, dua tahun silam. Dengan kata lain, isyarat ’lampu kuning’ itu tidak terjadi sim salabim dalam satu malam. Artinya, seharusnya Presiden SBY dan para menteri ekonominya sudah bisa mengantisipasi sejak awal.

Soal produk domestik bruto (PDB), misalnya, telah terjadi perlambatan pertumbuhan selama empat triwulan berturut-turut. Bahkan sudah turun jadi cuma 5,8% pada triwulan II-2013. Inilah pertumbuhan PDB terendah pertama kali dalam 10 triwulan terakhir. Lalu, transaksi perdagangan luar negeri juga sudah defisit sejak tahun 2012. Pada semester pertama 2013 saja, defisit perdagangan sudah menggelembung hampir dua kali lipat menjadi -US$3,3 miliar. Padahal, sebelum tahun 2012 transaksi perdagangan tercatat selalu menikmati surplus.

Defisit juga terjadi pada current account yang sejak awal 2012 sudah defisit dan berlanjut hingga triwulan II-2013. Dampak selanjutnya, terjadi tekanan terhadap neraca pembayaran yang mencapai –US$9,8 miliar. Tekanan pada neraca pembayaran inilah yang membuat cadangan devisa melorot.

Cadangan devisa Indonesia per 31 Juli 2013 turun lagi sebanyak –US$5,4 miliar dollar AS dibandingkan posisi akhir Juni 2013. Selama 3 bulan terakhir cadangan devisa sudah tergerus sebanyak –US$14,6 miliar. Kemerosotan lebih tajam jika dibandingkan posisi akhir tahun lalu, yaitu sebesar –US$20 miliar. Lebih tajam lagi jika dibandingkan dengan posisi tertinggi akhir Agustus 2011, yaitu terkuras sebesar -US$32 miliar dollar AS. Sampai 31 Juli cadangan devisa tinggal US$92,7 miliar. Padahal, sampai akhir Agustus 2011 cadangan devisa tercatat US$124,6 miliar.

Pertanyaannya, kemana saja pemerintah kita selama ini? Kok bisa memburuknya berbagai indikator makro itu dibiarkan saja terus terjadi? Apa karena SBY dan para menterinya sibuk melakukan politik pencitraan sehingga jadi telmi alias telat mikir? Yang pasti, akibat pemerintah telmi, rakyat menjadi korban. Rakyat kembali terpukul akibat naiknya bermacam harga kebutuhan pokok, khususnya produk pangan.

Berbekal serenceng fakta tersebut, tidak berlebihan bila disebut ekonomi Indonesia benar-benar telah ‘lampu kuning’. Kalau tidak segera dibenahi, kita bisa benar-benar ‘lampu merah’. Mungkin tidak seburuk 1998. Tapi tetap saja rakyat kawulo alit yang bakal pertama babak-belur dihajar dampaknya. Berharap dari pemerintah? Sudahlah, lupakan itu. Para pejabat publik itu tidak lebih dari sekumpulan penderita autis yang tengah menggenggam kekuasaan. Mereka terlampau asyik dan sibuk dengan diri sendiri dan atau kroninya hingga lalai terhadap tanggung jawab kepada rakyat dan negaranya.

Untungnya rakyat Indonesia memang sudah terlatih dan kebal. Terlatih menghadapi kesulitan hidup dan kebal dalam penderitaan. Bahkan BPS berkali-kali menyebut justru rakyat menjadi pahlawan ketika ekonomi terus-terusan terjun. Kontribusi mereka tergambar jelas dalam konsumsi domestik terbukti mampu menahan laju kemersotan lebih dalam.

Data BPS menyebut laju konsumsi rumah (KRT) tangga triwulan-2 tercatat 5,61%, naik dibanding triwulan I 2013 yang 5,24%. Tapi apa pemerintah mau (terus) bergantung pada konsumsi rumah tangga. Asal tahu saja, bergantung pada KRT tidaklah elok. Selain rapuh dan daya dorongnya tidak maksimal, yang tidak kalah pentingnya, tidak bisa menciptakan lapangan kerja.

Jadi, lha mbok mas-mas dan mbak-mbak di pemerintahan itu lebih cerdas dan kreatif lah dalam usaha mendokongkrak pertumbuhan ekonomi. Lagi pula, sampeyan-sampeyan itu diberi amanah untuk mengurus dan menyejahterakan rakyat negeri ini lho. Bukan sekadar petantang-petenteng dengan gaji dan seabrek fasilitas yang dibayari rakyat. Jangan lupakan itu, ya! (*)

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun