Mohon tunggu...
edy neneng
edy neneng Mohon Tunggu... -

Media Trainer, Konsultan dan Praktisi PR

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kedaulatan Ekonomi; Ironi dan Tragedi Mega-Jokowi

21 Mei 2014   16:46 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:17 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Edy Mulyadi

Calon Presiden dari PDIP, Jokowi berjanji akan melaksanakan Trisakti. Trisakti untuk pertama kalinya disampaikan pada pidato Soekarno dalam rangka memperingati kemerdekaan Republik Indonesia ke-27, 17 Agustus 1964. Dia memberi judul pidatonya “Tahun Vivere Pericoloso”. Istilah dari Bahasa Italia itu kira-kira artinya “hidup dalam suasana penuh bahaya.”

Lewat pidato tersebut, Bung Karno memperkenalkan Trisakti yang diyakini membangkitkan Indonesia menjadi bangsa yang besar, baik secara politik maupun ekonomi. Ketiganya adalah, berdaulat dalam politik, berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya.

Tulisan ini secara khusus menyoroti berdikari di Bidang Ekonomi sebagai konsep kedua dari Trisakti. Menurut Bung Karno, hanya dengan berdikari (baca; berdaulat) di bidang ekonomi, rakyat Indonesia bisa sejahtera. Bukankah selama ratusan tahun rakyat hidup menderita karena kekayaan alamnya dihisap habis-habisan oleh penjajah?

Soekrano berpendapat bangsa Indonesia harus mampu mengolah sumber daya alam (SDA) yang berlimpah ruah untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Tidak boleh lagi ada eksploitasi SDA Indonesia oleh kekuatan dan kekuasaan asing. Begitu geramnya Soekarno dengan kapitalisme yang menindas, sampai dia berpendapat, lebih baik potensi sumberdaya alam Indonesia dibiarkan, hingga para putra bangsa mampu untuk mengelolanya.

Janji vs bukti

Pada titik ini, menarik menyoroti janji Capres dari PDIP Jokowi yang sejak awal sesumbar akan menegakkan dan melaksanakan ajaran Trisakti Seokarno. Seperti ingin menegaskan tekad tersebut, di beberapa sudut jalan ibukota dan di banyak daerah bertebaran spanduk dan baliho dengan pesan senada. Pertanyaannya, benarkah PDIP dengan Jokowi-nya benar-benar akan melaksanakan Trisakti, khususnya berdikari di bidang ekonomi?

Sesaat setelah mendeklarasikan diri sebagai Capres PDIP,  14 April 2014 Jokowi dengan ditemani Megawati dan sejumlah elit PDIP bertemu sejumlah Dubes secara tertutup di rumah seorang cukong bernama Jacob Soetoyo. Di sana antara lain hadir Dubes Amerika Serikat, Robert O Blake. Selain itu juga ada Dubes Turki, Meksiko, Vatikan, dan Norwegia.

Pada Mei 2014 pertemuan senada juga digelar dengan para duta besar asal negara Timur Tengah. Ada 13 duta besar yang hadir dalam pertemuan yang berlangsung di restoran Kunstkring Paleis di Menteng, Jakarta Pusat.

Adalah hak tiap orang, termasuk Capres Jokowi untuk bertemu dengan siapa saja. Namun dalam konteks Capres dan Pilpres, pertemuan dengan sejumlah Dubes itu sangat multitafsir. Namanya juga multitafsir, bandulnya bisa ke kanan atau ke kiri. Bisa positif juga negatif. Sisi positifnya, memang penting menjalin komunikasi dengan berbagai pihak luar negeri.

Tapi  lazimnya, menjalin hubungan dengan dunia internasional dilakukan oleh pejabat, khususnya presiden, yang sudah definitif. Jika baru ‘calon’ maka pertemuan dengan para Dubes itu mau tidak mau akan diterjemahkan sebagai ‘minta dukungan’. Padahal kita sama-sama tahu hukum besi dalam politik, tidak ada makan siang gratis!

Apa yang dilakukan PDIP dan Jokowi tersebut dengan gampang dimaknai sebagai ‘membarter’ dukungan dengan ‘sesuatu’ dari Indonesia. Entah apa itu. Namun sangat bisa diduga, ujung-ujungnya adalah penguasaan SDA yang memang berlimpah ruah. Bentuknya bisa berupa konsensi-konsesi bisnis. Tapi bisa juga berupa bermacam undang undang yang menggelar karpet merah bagi kapitalisme asing.

Pada titik ini, langkah Mega-Jokowi menjadi ironi sekaligus tragedi. Pasalnya, selama ini PDIP dipersepsikan sangat identik dengan nasionalisme Bung Karno yang tidak mau didikte bangsa asing. Sekarang, Megawati-Jokowi justru bagai ‘menyerahkan leher’ bangsa Indonesia kepada asing. Padahal, Indonesia adalah negara yang berdaulat, baik secara politik maupun ekonomi.

'Nasionalisme’ ala Mega

Langkah ironis sekaligus tragis Mega dan PDIP bukan baru-baru ini terjadi. Megawati Soekarnoputri yang berkuasa menjadi Presiden hanya sekitar tiga tahun (2001-2004), ternyata tidak sedikit mengambil kebijakan sangat tidak nasionalis, bahkan menggerus kedaulatan ekonomi.

Setelah dansa dansi dengan Presiden China, Mega menjual murah gas Tangguh ke China seharga US$3,3/mmbtu untuk kontrak selama 25 tahun. Untuk info saja, saat pertama kali kontrak penjualan LNG ke Fujian diteken, harganya lebih rendah lagi, yaitu US$2,4/mmbtu selama 25 tahun.

Akibatnya, harga gas itu sulit sekali dikutak-katik, kendati harga sekarang sudah berlipat-lipat. Pasalnya, ya itu tadi, Indonesia kadung meneken kontrak dengan harga flat selama 25 tahun. Mantan Wapres Jusuf Kalla menyebut potensi kerugian Indonesia akibat obral murah gas itu mencapai Rp700 triliun. Ironisnya, kepada PLN yang notabene badan usaha milik negara, gas justru dijual dengan harga lebih 3 kali lipat, sekitar US$13/mmbtu.

Kontroversi lain di balik penandatanganan kontrak gas Tangguh dengan Pemerintah China  adalah munculnya nama Taufik Kiemas (TK), suami Mega, sebagai Ketua Tim Perunding.Seharusnya,TK tak bisa memimpin tim tersebut karena statusnya sebagai legislator. Ini tentu bertentangan dengan undang-undang. Tapi semua itu diterabas dengan berbekal Keppres dari Presiden. Tim tersebut akhirnya mendarat juga di Beijing, terjadilah fire sale itu. Hmm...

Masih ada lagi, Megawati juga menerbitkan surat keterangan bebas utang atawa release and discharge (R/D) bagi sejumlah bankir yang tersangkut perkara BLBI. Mereka adalah para konglomerat hitam yang membobol bank miliknya sendiri. Perilaku culas berjamaah ini pada akhirnya menjerembabkan Indonesia ke kubangan krisis moneter pada 1998 yang berkepanjangan.

Megawati pula yang mengobral Indosat, berikut anak dan cucu perusahaannya, kepada Singapore technologies Telemedia (STT), anak usaha Temasek Holding Company, senilai sekitar Rp5 trilyun.  Lewat penjualan ini Singapura dapat mengontrol dan mengetahui sistem keamanan Indonesia. Bahkan tidak mustahil rahasia negara pun dapat dicurinya.

Bukan hanya itu, beberapa bulan sebelum lengser, Mega sempat menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1 tahun 2004  yang ‘mengamandemen’  UU Kehutanan No 41 tahun 1999 yang dibuat oleh DPR periode sebelumnya. UU ini secara jelas dan tegas melarang menambang di hutan lindung. Seperti diketahui, UU ini sangat ditentang oleh perusahaan-perusahaan pertambangan besar seperti Freeport, Newmont dan lainnya karena menghambat laju ekspansi eksplorasi tambang mereka.

Perppu yang biasanya dikeluarkan hanya di kala negara dalam keadaan darurat ini memungkinkan hampir 1 juta ha kawasan lindung dialih fungsi menjadi kawasan tambang. Tragis dan ironisnya, Megawati justru menerbitkan Perpu hanya karena desakan pelaku pertambangan asing, seperti PT Freeport/ Rio Tinto (AS-Inggris) ,  PT Inco-Vale (Kanada-Brazil), Eramet (Perancis), juga Pelsart dan Newcrest (Australia).

Begitulah sepak terjang Ketua Umum PDIP Megawati ketika menjadi Presiden. Dengan rangkaian fakta seperti ini, masihkah partai ini layak mengklaim diri sebagai penjaga kedaulatan ekonomi seperti yang selama ini selalu digembar-gemborkannya?

Jakarta, 20 Mei 2014

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economy and Democracy Stduies (CEDeS)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun