Mohon tunggu...
EDY FIRMANSYAH
EDY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... lainnya -

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Buku Selangkangan dan Keberanian Zaman

27 Desember 2010   08:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:21 2356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1293439102537696752

Buku Selangkangan dan keberanian Zaman Oleh: Edy Firmansyah Menulis memang butuh keberanian. Menerbitkan tulisan dalam bentuk buku dengan dana mandiri atau self publishing juga butuh keberanian. Tak banyak orang yang berani melakukan itu. Dan Vira Cla adalah sedikit orang yang berani menulis dan menerbitkan tulisannya dalam bentuk buku dengan self publishing. Vira Cla, calon dokter gigi UI ini menerbitkan buku pertamanya berjudul Lajang Jalang. Tak tanggung-tanggung, buku kumpulan cerpennya yang berisi 14 cerpen ini semua berisi soal seks atau tepatnya prilaku seks bebas. Itulah mengapa di sampul belakang bukunya, cewek berjilbab kelahiran Padang ini memberikan disclaimer: Hanya untuk Pembaca Dewasa. Bahkan di cerpen pertamanya berjudul “Cer-penis di negeri sastra” vira menegaskan lagi keseriusannya menggarap soal seks. ”cerita pendek saya (dalam buku lajang jalang, red) tak jauh dari masalah seonggok daging di belahan paha” begitu kira-kira komentar tokoh saya dalam cerpen itu. Dan alasannya sederhana saja: inilah keragaman sastra itu. Memang sejak gerakan mahasiswa 98 berhasil menumbangkan orde baru kran kebebasan menuangkan pikiran dan menyatakan pendapat muncrat tak terbendung. Dan karya-karya berbau kelamin tibatiba banjir di pasaran buku, mengisi ruang-ruang kesusastraan Indonesia. Taruhlah misalnya, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu (sekedar menyebut contoh) yang mengorbitkan karya-karya kelaminnya usai orde baru tumbang itu. Promosi besar-besaran, dukungan dari sastrawan senior atas terbitnya buku-buku sastra semacam novel dan cerpen yang kadang kalah terlalu berlebihan, membuat penulis sastra kelamin menjadi jujukan banyak anak muda untuk kemudian mencoba-coba menggarap sastra dengan tema serupa. Seakan-akan sastra kelamin pasca lengsernya kepemimpinan Soeharto itu adalah sastra pendobrakan. Sastra perlawanan. Efek dari dikebirinya kebebasan berpendapat dan berpikir di era orde baru. Dan barangkali Vira Cla adalah salah satu diantara anak-anak muda itu. Lebih tepatnya menggarap soal seks kerap dianggap sebuah keberanian berpikir. Keberanian menyatakan pendapat. Bukan semata-mata bervulgar ria semata. Hanya saja masalahnya benarkah sebuah keberanian? Bukankah ketika orde baru tumbang kebebasan berpendapat dan berpikir (juga berkarya) itu kemudian menggelinding bebas tanpa tedeng aling-aling ke tangan mereka yang bergelut dalam dunia tulis-menulis? Artinya ketika kebebasan itu sudah diraih dan orang bisa menulis apa saja termasuk soal seks, tema seks bukan lagi sebuah keberanian. Berbeda misalnya ketika orde baru masih Berjaya dengan berbagai tindakan represifnya di segala lini termasuk dalam berkarya. Menulis soal seks di masa kejayaan orde baru itu jelas merupakan sebuah keberanian. Karena jika ketahuan penulisnya bisa mengalami nasib yang naas. Meski demikian jangan dikira di masa itu tak ada penulis yang menggarap tema selangkangan dalam karya-karyanya. Sebutlah misalnya, Monica, Enni Arrow atau Fredy S (sekedar menyebut contoh). Puluhan bahkan ratusan karya mereka ada di pasaran. Saya sendiri di masa-masa sekolah adalah penggemar karya-karya penulis yang saya sebut diatas. Tentu saja jangan cari karya mereka di toko-toko buku besar (sama juga dengan self publishing yang barangkali sulit mencari bukunya di toko buku). Tapi cobalah cari di toko buku kaki lima atau distributor Koran dan majalah, maka anda akan menemukannya. Dibandingkan Monica dan Fredy S, Enni Arrow justru fenomenal dan sangat-sangat berani dalam mengumbar selangkangan dalam karyanya. Tentu saja jangan mencari pesan moral dalam karya Enni Arrow. Karena garapan novel-novel Anni Arrow itu pure seks. Desahan, gelinjang, erangan, nikmatnya gesekan kelamin antara sesama jenis kelamin, dua jenis kelamin yang berbeda ditulis tanpa tedeng aling-aling. Dan butuh keberanian menuliskan itu semua ditengah sensor-sensor dan represifitas orde baru. Dan karena keberaniannya itulah karya Enni Arrow terus diburu anak-anak muda kala itu. Ketika SMA saya sendiri adalah penggemar Enni Arrow. Dan barangkali dari banyak buku yang pernah saya baca hingga sekarang, hanya karya Enni Arrow yang pernah saya baca dalam kamar mandi. Lepas dari semua itu karya-karya fredy S, Enni Arrow, Monica, Abdullah Harahap menurut saya adalah karya sastra yang jauh lebih berani karena menggarap tema seks ketika kekuasaan orde baru itu masih anggkuh berdiri dengan segala sensor dan represifnya itu. Nah, membaca Lajang jalang mengingatkan saya pada bacaan-bacaan saya di kala SMA itu. Namun sebagai buku yang digadang-gadang penulisnya sendiri sebagai buku untuk kalangan dewasa buku ini justru kurang ‘berani.’ Vira kurang berani mengekslorasi adegan-adegan seksual (baca: adegan ranjang) sebagaimana penulis-penulis selangkangan pendahulunya. Misalnya, dalam cerpen berjudul “ketika otak di selangkangan” adengan percintaan antara tokoh aku dan pasangannya diandaikan sebagai percintaan romeo Juliet. Tanpa dieksplorasi secara deskriptif sebagaimana penulis selangkangan umumnya. Misalnya: “Bayangkan ketika Juliet melepas baju satu persatu. Romeo menikmati setiap tindakan, lalu mulai bergerak cepat memagut Juliet, mendekap erat dan mulailah kalian menutup mata. Biarlah adegan selanjutnya terjadi tanpa terlihat oleh mata-mata yang penasaran” (hal. 16) Dalam cerpen-cerpen lainnya Vira sengaja tidak mendeskripsikan adegan-adegan seks yang dilakukan tokoh-tokohnya. Ditengah karya-karya seks yang jauh lebih berani dalam mengumbar syahwat dan menyeret pembacanya dalam ketegangan seksual, Vira justru bermain-main dengan eufemisme seksual. Tak hanya itu, Vira juga kurang matang menggarap plot, suspense dan klimaks dalam cerpen-cerpennya. Nyaris tidak ada kejutan-kejutan yang berarti terutama dalam menciptakan klimaks dan ending. “Labia”, “Puting”, “hari ini aku di persimpangan jalan”, “hanya sepuntung”, “que sera-sera” adalah beberapa contoh cerpen yang saya maksud itu.  Dalam Labia misalnya, tokoh aku terobsesi dengan bibir perempuannya. Ingin sekali ia mencium bibir perempuannya itu. Bahkan ketika perempuannya berbicara di telepon dengan temannya yang ia perhatikan hanya bibirnya. Tapi ketika tokoh aku hendak menciumnya di dalam mobil pribadinya, perempuannya menolak. Si perempuannya mengingatkan tindakan mencium bibirnya (termasuk mencium labia genitalis nantinya) baru bisa dilakukan setelah menikah. Dan tokoh aku sadar. Tak melanjutkan lagi niatnya. Adegan selesai. Barangkali mungkin pesan moralnya begini: perempuan itu harus berani berkata tidak untuk menaklukkan birahi laki-laki. Begitu juga sebaliknya.  Namun saya sebagai pembaca tak merasakan kejutan apa-apa. Tapi menariknya, meski Vira memproklamirkan bukunya sebagai tulisan melulu soal daging di belahan paha, di sampul belakang bukunya ia seakan memberikan pesan bagi pembacanya: baca dan resapi, tapi jangan coba-coba walau sekali. Mungkin disclaimer di sampul belakang itu seakan menegaskan kalau segementasi buku ini hanya untuk kalangan remaja atau ia penggemar bukubuku pop seksual. Ini jelas berbeda dengan penulis selangkangan macam Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu yang justru dibabtis dengan puja-puji setinggi langit namun dengan klaim-klaim asersif sebagai pioneer pendobrak tabu dan pelopor feminisme Indonesia (?). Lepas dari semua itu, ada baiknya saya mengutip omongan Charles Darwin, penulis Species of Origin yang controversial itu. Bahwa sebuah penelitian, sebuah karya, tak ada berarti tanpa ada pendukung dan penentangnya yang setia. Begitu juga dengan buku. Dan Vira Cla memberanikan diri menerbitkan buku (yang tentu saja harus berani memiliki penggemar dan penentangnya juga) Lajang Jalang ini. Menurut saya buku Vira Cla ini barangkali adalah buku ‘pengantar’ untuk masuk ke buku bertema seksual. Pembaca yang belum pernah membaca Fredy S, Enni Arrow, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan penulis bertema selangkangan lainnya ada baiknya membaca Lajang Jalang ini. Sebagaimana buku indie umumnya, barangkali pembaca tak akan mendapatkannya di toko buku besar. Artinya jika anda berminat, anda harus memesannya langsung pada penulisnya atau memesan ke tempat-tempat penjualan buku yang telah bekerjasama dengan penulis. Nah, anda berminat? Surabaya, 26 Desember 2010 (sebagian tulisan diatas ditulis di nokia E63)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun