Mohon tunggu...
EDY FIRMANSYAH
EDY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... lainnya -

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Apa yang Memaksa Kita Membuat Puisi

20 Maret 2011   05:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:37 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13005978101934716928

Puisi adalah dunia rekaan, demikian ungkap Sapardi Joko Damono. Ya. Sebuah dunia yang direka-reka dalam imajinasi menjadi sebuah kata yang disusun berbaris. Lain sapardi, lain juga kata Emha Ainun Najib. Bagi Emha puisi adalah mainan. Menjadi penting keberadaan disaat bermain dan menjadi tak penting keberadaan disaat kita menjelang tidur malam.

Namun yang menjadi pertanyaan sekarang, ketika puisi adalah dunia rekaan, ketika puisi hanyalah barang mainan seperti ketapel dan pisau, mengapa,toh puisi harus ditayangkan, harus ditunjukkan ke muka publik melalui media sastra dan budaya, koran-koran, situs-situs internet dan jejaring sosial. Mengapa penulis puisi dunia maya kerap gelisah ketika puisi yang di posting di catatan facebook, misalnya, tak jua dapat acungan jempol dan komentar positif. Dan sebaliknya ketika mendapatkan puluhan jempol dan pujian hati penulisnya berbunga-bunga tiada tara? Meskipun tak ada yang bisa menduga kawan dunia maya yang memuji dan memberi jempol sedang main-main atau iseng atau iba semata? Mengapa banyak orang berduyun-duyun mengirimkan puisinya ke berbagai macam media baik cetak maupun online?

Pertama, karena popularitas. Ya,dalam dunia yang serba instan ini siapa yang tidak ingin popular dengan cara instan pula. Fenomena reality show macam Indonesian Idols telah menunjukkan hal tersebut. Ribuan pendaftar rela berderet-deret seperti mobil parkir demi sebuah popularitas. Begitu juga dengan berpuisi. Kita bisa popular dengan menunjukkan kemampuan, keunikan kata didepan publik. kita akan diakui sebagai penyair jika puisi kita menjadi konsumsi orang lain. Menenggelamkan imajinasi orang dalam tarian kata-kata yang kita buat. Merangsang jiwa pembaca melalui erotisme kata-kata kita sehingga akhirnya membuat orang lain mampu berorgasme.

Bahkan untuk mendapatkan kesan ‘hebat’ sebuah puisi ditulis dengan kata-kata berat dan kadang kata yang tak lazim digunakan sehari-hari hanya sekedar untuk menunjukkan penulisnya adalah pemamah kata yang rakus dari kamus. Akibatnya, puisinya—meminjam istilah Putu Oka Sukanta—menjadi puisi bisu. Ia hanya dimengerti dan dinikmati oleh penulisnya (mungkin juga tidak) dan selebihnya ia memperdaya pembaca dengan kebisuannya untuk diposisikan sebagai puisi maha hebat, saking hebatnya sampai tidak ada orang yang bisa memahaminya. Karena itu, Putu Oka Sukanta menyarankan agar Puisi semacam itu disimpan di dalam laci penulisnya. sebab puisi macam begitu adalah salah satu perangkap pembodohan.

Itulah mengapa ketika menyampaikan ceramahnya dalam launching buku puisi ”Burung Burung Bersayap Air” Karya Dewi Nova di PDS HB Jassin – TIM Jakarta, 25 November 2010 silam, Putu Oka Sukanta menegaskan, galibnya, puisi sebagai sebuah kumpulan kata, harus mampu mengorganisasi dirinya agar makna setiap kata dapat mengungkapkan/ mempresentasikan dirinya untuk dipahami oleh pembaca dan kemanusiaan, walaupun puisi merupakan hasil kreasi individu yang berdasarkan sudut pandang subyektif, puisi seharusnya bisa mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Sebab penyair dan pembaca adalah manusia, yang terjaring saling menghidupi dengan manusia lainnya dalam berbagai kondisi sosial-ekonomi-politik yang melingkupinya dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan lain kata, pengalaman penyair adalah pengalaman pembaca juga.

Dan upaya untuk mencapai sebuah puisi yang memiliki ruh kemanusiaan yang universal itu, seorang penyair tidak harus terjebak pada ambisi-ambisi instan hanya untuk sekedar menjadi terkenal, diakui dunia sastra dan karya-karyanya dimuat di koran-koran. Dan untuk mencapai itu diperlukan kerja terus-menerus belajar terus menerus tanpa pamrih.

Kedua, puisi adalah sarana pembrontakan. Bahkan lebih inten menjadi sarang para pembrontak daripada bidang sastra yang lain. Makanya, anak muda yang lagi putus cinta, anak muda yang selalu dikekang dalam banyak hal, atau sedang jatuh cinta sekalipun memiliki kecenderungan untuk membuat puisi. Dan ketika puisi sudah jadi rasanya masih saja kurang lengkap ketika kegelisahan, kesukaannya, kegagalannya tak diketahui oleh publik. Merasa kurang klop.

Tentu saja di ranah yang lebih serius dan meluas, pembrontakan dalam puisi tidak lagi bersifat personal, tetapi meluas dan memiliki keberpihakan yang tegas. yakni menentang segala bentuk penindasan. Ambillah contoh misalnya, Chairil anwar dengan puisinya yang menjadi pelopor puisi modern. Puisi-puisi Widji Thukul, puisi Pablo Neruda untuk sekedar menyebut contoh. Karenanya dalam posisi ini tentu saja tentu perlu dipertanyakan pula pernyaataan sutardji calsoum bachri yang menegaskan bahwa puisi tak perlu makna, pokoknya enak dibaca itulah puisi.

Maka melihat kecenderungan itu saya, semakin sangsi dengan apa yang diutarakan oleh Sapardi mampun Emha diawal tulisan ini. Mungkin mereka berucap begitu karena popularitas telah berada ditangan. Bahkan bangun tidurpun, ketika mereka membuat puisi, puisinya dianggap hebat oleh khalayak. Dan kuat dugaan kalau dikirimkan ke media massa, pasti langsung diloloskan. Sedangkan bagi para pemula, sebagus apapun puisinya, masih harus berkali-kali kecewa karena tak direspon positif oleh media yang saat masih dianggap sebagai satu-satunya pusat mempublikasikan sebuah karya sastra. Padahal puisi-puisi karya pemula tak kalah garangnya dengan puisi-puisi Rendra. Hanya saja mereka kalah tenar.

Untuk sekarang bagi kita penyair pemula adalah menolak apa yang dikatakan oleh Sapardi Joko Damono bahwa puisi hanyalah dunia rekaan maupun Emha Ainun Najib yang mengatakan puisi hanya barang mainan. Berpuisi adalah belajar terus-menurus, bekerja terus-menerus. Seperti yang dikatakan konfusius; tak ada yang bisa dibicarakan tanpa belajar sajak. Tentu saja alangkah beruntungnya jika di dunia maya ini ada penyair sekaliber Umbu Randu Paranggi yang mau dengan tanpa pamrih mengasah menggodok para pemuda yang gemar menulis puisi di dunia maya untuk dapat membuat puisi yang baik. Karena di pundak penyair mudalah masa depan perpuisian Indonesia dibebankan.

*) Rencananya tulisan ini akan dijadikan pengantar untuk buku antologi puisi saya “Derap Sepatu Hujan”. Tapi karena beberapa hal saya mengurungkannya. versi lain dari tulisan ini pernah dimuat di www.cybersastra.net april 2004, kemudian diolah ulang dan dimuat di harian SURYA, Mei 2006. Jadi ini adalah versi ke-3 sejak dibuat tahun 2004 lalu.

**) Berminat dengan antologi Puisi “Derap Sepatu Hujan”? hanya Rp. 32.000,-(sudah termasuk ongkos kirim pemesan di pulau jawa). Jika berminat bisa di inbox.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun