Mohon tunggu...
Edwir Rahman
Edwir Rahman Mohon Tunggu... -

Di depanku hitam. Dibelakang juga hitam. Disamping hitam mendominasi. Di atas juga hitam. Aku juga hitam. Aku berada dialam hitam.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menanti Karma-karma

28 September 2012   10:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:32 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Perbuatan baik akan selalu melahirkan kebaikan-kebaikan. Kebaikan adalah keburukan yang diterjemahkan dalam ruang yang positif. Antara kebaikan dan ketidakbaikkan adalah sama. Sama-sama melahirkan sejarah pembelajaran. Banyak kebaikan yang tercipta dari sesuatu yang buruk. Sebab sebaik apapun sebuah keburukan dan seburuk apapun sebuah kebaikan akan selalu ada pengetahuan. Tentang keburukkan, tentang kebaikkan.
Sebagai manusia, kita dilahirkan ke dunia dari ''proses keburukkan''. Andaikan Adam tidak berbuat buruk terhadap kecintaanya kepada Hawa yang dipuja, maka kita entah berada dimana. Apakah surga akan berada di akhirat, atau hanya berada disebuah telapak kaki hawa. Ketika Hawa tergoda dari keburukan Iblis, maka Adam memahami itu sebagai cinta. Sebab keburukkan yang disematkan bagi Iblis, adalah kebaikan untuk memenuhi hasrat jiwa bagi Hawa yang dicintai Adam.
Romantisme keburukkan dan kebaikan dunia akan selalu mengikuti kita. Dia akan selalu berada di dua sisi yang berjarak tipis. Disaat keinginan untuk dicintai, maka didinding lain, keinginan untuk membenci siap menanti. Bila rasa memiliki yang begitu dalam, di pojok lain ketidakinginan rasa mempunyai begitu dangkal. Proses pemahaman diri terhadap dosa, akan melahirkan pahala-pahala yang berbeda.
Ketika kebaikan disemai di ladang keburukkan. Maka benih yang dituai adalah buah-buah baik. Ranum. Menggoda untuk disantap hati. Perputaran waktu ini akan melahirkan berjuta-juta kebaikkan. Tidak menjadi sama disaat tampang keburukkan di serakkan di rahim bumi. Buah keburukkan juga akan menjuntai seperti rambai, tumbuh masam, tapi tetap memiliki nilai. Seperti nilai Hawa memakan buah qoldy di surga. Ada pembelajaran dan ada penyesalan yang memberikan jejak tentang pertaubatan.Penyesalan dan pertaubatan inilah yang mestinya menjadi arah untuk kita sebagai manusia mampu menggapai nilai-nilai.
Riau sebagai sebuah ladang tempat berpijak bagi banyak puak, telah banyak melahirkan makna-makna kebaikan. Bergunung-gunung limpahan pembelajaran yang telah meleleh dan menetes dari zaman berzaman. Tentang nasionalisme yang dieja Sultan Syarif Kasim yang berbilang I dan II. Tentang M Boya yang mati di perairan Indragiri demi harga diri. Tentang Hang Tuah meninggalkan kaumnya demi menegakkan marwah bangsa. Tentang Ismail Suko yang menantang gelombang dan arus kekuasaan Jawa.
Namun, menghapal Riau kekinian adalah membaca huruf-huruf tak beraturan. Antara Kampar menyalip Rokan Hulu, menelikung Rokan Hilir, menyepi di Pelalawan. Antara Indragiri, angkuh di Hilir, Senyap di Hulu, bergemuruh di Kuantan. Bengkalis meredupkan Mandau, melepaskan Meranti, menyembunyikan Dumai. Pekanbaru angkuh meniti takdir ketika ditasbihkan menjadi Ibu sebuah provinsi. Padahal huruf-huruf itu masih bercerita tentang langit Bumi Lancang yang berwarna kuning. Arus air dari sengkayan-sengkayan yang dulu menyatukan Riau, kini seperti mengalir tak tentu menuju muara yang mana. Semua bergegas menuju tempat yang semu.
Membaca Indonesia saat ini adalah menghitung angka-angka. Tentang Talang Mamak yang tak mampu lagi tamak. Tentang hutan yang tak lagi belantara. Tentang hewan yang tak lagi buas dan liar. Tentang sungai yang tak lagi kuasa menahan jernih. Tentang gelombang yang tak mampu tinggi. Bahkan tentang awan yang turun menjilat bumi mengawini asap-asap.
Menterjemahkan Indonesia adalah menunggu karma-karma. Ketika ditinggikan tak ingat tentang arti rendah. Ketika dijulang lupa makna akan pengorbanan. Ketika didahulukan tak menoleh kebelakang. Ketika dituakan tak mengakui proses terciptanya muda. Ketika menerima seperti tak pandai berterima. Ketika diterangkan, makna gelap dilupakan. Bahkan disaat bebas, lupa filosofi dipenjara. Yallah ampunilah kami dan pemimpin kami yang belum kuasa membaca arti hidup pasti akan mati.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun