Mohon tunggu...
Edwir Rahman
Edwir Rahman Mohon Tunggu... -

Di depanku hitam. Dibelakang juga hitam. Disamping hitam mendominasi. Di atas juga hitam. Aku juga hitam. Aku berada dialam hitam.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Air Mata Beo

18 Agustus 2011   12:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:40 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langkahnya mulai melambat. Saat detik-detik kepiluan itu mendekati batas umurnya. Gemuruh hembusan nafasnya yang selalu berdesah mengerang nikmat, perlahan-lahan gemulai seperti daun bunga Melati jatuh melayang dibawa sentuhan angin senja itu.
Tepat diselangkangan kedua kakinya. Mukenah putih terjuntai lurus menyibak pangkal paha. Terlihat dengan jelas, aliran darah merah kehitam-hitaman membentuk garis memanjang tak beraturan melumuri sekujur kakinya.
Titik-titik kepedihan bercampur dengan air wudhu membias paras ayu pere mpuan itu. Sebuah tahi lalat bercorak coklat kemerah-merahan yang menempel kokoh disudut bibir kini tenggelam oleh arus air mata. Tapi Rintih kepedihan tidak juga terdengar dari mulutnya yang basah. Tanganya menggapai seluruh sudut luka untuk sekedar menutupi pintu perut dan hatinya yang bernoda.
Gerak tubuh yang sintal dengan dua buah dada padat menyempit. Tidak terlihat lagi jejak remasan tangan-tangan birahi yang selalu mengiringi nafsu mencapai muaranya.
Dengan darah itu Dia bagai terlahir dari rahaminya sendiri. Usus-usus terberai mirip sekali dengan ari-ari dan tali pusar. Tubuh membaluti setiap sendi-sendi kehidupanya menjadi kaku membatu karang. Terlihat fisik yang dulu selalu angkuh dengan kebiadapan hatinya mencoreng muka-muka orang yang menyayangi semakin kuyu. Dengan rona muka memudar tidak begitu jelas lagi terlihat aliran darah dari balik jantungnya. Darah itu telah keluar melalui kulit perutnya yang terbuka. Kehangatan sang surya yang saban hari menjilati kulit putih dengan lekukan tubuhnya yang sintal tidak terasa lagi olehnya.
Bahkan, tadi malam sesaat setelah azan Isya melantun dari musholah tepat berada didepan rumahnya. Dia ditiduri oleh anak penghulu dusun ini. Desahan birahinya masih menggema, mengerang nikmat ketika air suci itu mengalir memuncaki birahi.
Peraduan kapuk yang berdebu pemberian suaminya. Sprey berwarna putih kekunung-kuningan bantal yang kumal itu masih terlihat kusut. Terbiarkan tidak beraturan disudut dipan, dalam kamar yang tidak berpintu itu. Noda-noda perzinahan terlihat, membentuk lingkaran yang tak beraturan. Sepintas noda itu seperti pulau-pulau kecil. Banyak sekali.
Perzinahan itu. Merupakan akhir persenggamahan yang menyakitkan. Karna berselang 21 jam, setelah perselingkuhan itu. Dia terbangun dari mimpi semu, bahwa hitam yang dia lukiskan didalam perjalanan hidupnya, bukanlah warna kesukaan kedua orang tua dan tuhannya.
Tidak ada kalimat-kalimat penghinaan terhadap agamanya, yang sering ia lontarkan ketika tepat berada diruang musholah. Mushola yang dibangun orang tuanya, sebelum menghadap kepembuat bumi, dua bulan yang lalu. Nyawa yang membawanya pergi, seperti kehadiran jaga yang teramat diinginkannya.
Sedangkan burung beo milik suaminya tetap tergantung diberanda rumah berwarna hitam kecoklatan. Burung itu, sangat pasih berbincang dengan kata-kata kotor berbau porno. Seperti yang diajarkanya setiap waktu , disela-sela persetubuhan dengan banyak lelaki di dusun itu.
Bahkan burung berkuping kuning itu, mengetahui secara pasti, sudah berapa kelamin, yang menghinggapi sangkar perempuan itu. Disaat belati, menghampiri perut bunting majikannya. Beo itu hanya tertegun. Tidak mampu menghapal kata bermakna iba.

************
Orang-orang sekitar, yang didominasi perempuan itu, berdatangan melihat pembataian sang durjana. Mata sinis orang-orang tersebut hanya tertuju kepadanya. Tidak ada upaya untuk sekedar memberikan pertolongan. Di saat-saat penantian nyawanya tercabut dari raga. Belas kasihan menjauhinya.
Keibaan tidak terpancar. Apalagi tangis yang mengiringi perjalanan terakhirnya. Semua diam, dari mulut-mulut terkunci itu, yang terbesit hanya sebuah asa kebencian. Bahwa sang durjana sudah meninggalkan dusunnya yang sepi. Pergi ketempat yang maha sepi.
Sang suami dengan percikan darah yang masih menempel di kedua tangan dan baju putihnya, hanya berdiri beberapa sentimeter dari tubuh istrinya. Aliran darah yang keluar dari sepuluh liang tusukan belati yang menancap diperut istrinya, telah pula sampai, menyentuh ujung jari kakinya.
Begitu juga dengan tas sandang, berwarna biru, dengan motif-motif cinta, masih bergelayut dipundak suaminya. Belum juga terturunkan. Padahal didalam tas itu, segudang rindu telah dia bungkus dengan rindu berwarna merah muda, berbulan-bulan lamanya. Hanya untuk memberikan kejutan kepada istrinya. Namun pembicaraan orang-orang dusun, tentang kedurjanaan istrinya, dengan mengobral birahi, setelah dia pergi. Lebih dahulu menghampiri pendengarannya.

**************

Perempuan itu, mencoba untuk meraih kaki suaminya. Dia merangkak, tertatih, dengan darah yang terus berserak, mendekati orang yang dikhianati. Mulutnya mencoba untuk mengeluarkan ayat-ayat penyesalan. Atas perselingkuhan dengan banyak pejantan, ketika dirinya ditinggal pergi , satu tahun yang lalu.
Tetesan air mata yang begitu bening, tidak jua mampu menutup pintu amarah. Maaf yang dipinta, ketika dia menyentuh tubuh lelaki yang telah lama tidak menidurinya. Sebuah tendangan keras yang mengenai kepalanya, semakin menderaskan aliran darah diperut perempuan itu. Wanita itu, terguling-guling, dan kembali tersandar ditiang tengah rumah.
Tidak ada penyesalan. Sesekali dari mulut suaminya tersungging senyum kepuasan. Senyum yang penuh dengan amarah kekecewaan. Kekecewaan yang memuncak, jijik terhadap istrinya yang telah melupakan janji sakral. Ketika akad melantun, saat dua hati bertaut dua tahun yang lalu, dihadapan tuhannya.
Selanjutnya berselang beberapa saat, wanita bunting enam bulan itu tersungkur, memegang luka mengoyak isi perut buncitnya. Sebelum ia mampu meraih maaf suaminya.
Ditiang rumah yang kokoh itu dia menghembuskan nyawanya dengan membawa sebuah belati milik suaminya sendiri. Kini sang durjana telah pergi. Meninggalkan semua janin yang bersarang diliang vaginanya. Janin dari orang-orang yang mensetubuhinya.
Aliran darah yang menghitam, menguyupkan seluruh mukenah putih yang dipakainya. Bahkan sajadah pemberian mahar suaminya, lembab oleh darah, yang begitu merah. Tiada tempat bagi kering dijasadnya. Dia tergolek tidak berkafan dan tak disholatkan.
Kesunyian pada senja berkabut itu, ditahun penyesalan, tepat pukul 18.30 wib memang menjadi hari terakhir yang tersunyi yang dirasakannya. Tidak ada kepedihan yang mengiringi perjalanan nyawa, ketika sejarah putih hidup yang baru dilukisnya meninggalkan jasad.
Yang terdengar hanya lantunan nyayian pilu yang disuarakan alam, melalui perpaduan dan gesekan dedaunan, disela-sela dahan cemara, yang berdiri rimbun tepat didepan rumahnya. Senyum kebahagian tersungging diantara pejaman kedua matannya. Terlihat dengan jelas, sebuah beban dan aib telah berpisah dengan jasad.
Cahaya terang terpancar dari tubuhnya, yang selalu dinikmati oleh orang-orang penghuni dusun itu. Sebelum dia sempat menyelesaikan rakaat pertama dari sholat magrib pertama sepanjang sejarah hidupnya.
Begitu nyawanya terdiam dengan tanda nafas yang terhenti. Puluhan orang-orang yang dari tadi hanya menyaksikan kepergiannya, berangsur-angsur meninggalkan jejak dirumahnya yang berduka. Sesekali ludah meluncur, mengenai wajahnya yang berseri. Ludah-ludah itu, bercampur dengan genangan darah yang berangsur-angsur mengering, beku. Sebeku hati suaminya yang terus membisu.
Kemenangan orang-orang itu semakin sempurna. Pesta pora dengan lantunan lagu dangdut tak merdu. Untaian doa kematian, tidak sedikitpun terucap. Doa-doa umpatan yang hanya terdengar.
''Mampus kau durjana, perumpuan busuk, yang telah membuskan rumah tangga orang,''ungkap salah seorang perempuan, yang hanya mengenakan BH sementara kain pelekatnya melorot, akibat berjoget kegirangan.
''Perempuan laknak. Hidup dalam kemksiatan. Kami panggang kemaluanmu,''sambung perempuan lainya, sembari ditangan menggendong anak lelaki berusia enam tahun, dan anak itu telanjang bulat. Disela-sela tangan ibunya tersumbul kelamin. Kelamin itu sangat mirip milik bapaknya yang pernah mencumbui kelamin wanita yang dihujat ibunya.

*****************
Burung beo milik suaminya tetap tak mampu mengeja banyak kata. Burung itu masih tergantung diberanda rumah. Sesekali badanya dihempaskan membentur pagar sangkarnya. Burung itu, kini benar-benar tidak lagi mampu berbincang dengan kata-kata kotor berbau porno. Seperti yang diajarkanya setiap waktu , disela-sela persetubuhan dengan banyak lelaki di dusun itu.
Kini burung itu bersujud dan berkicau dengan ungkapan-ungkapan doa suci dari agamanya sendiri, untuk melepas kepergian perempuan itu. Setetes air mata Beo, jatuh tepat mengenai dadanya. Kemudian air itu, membasuh hatinya, dari noda yang berkarat.

***************
Ketika sebuah obor yang dilempari oleh suaminya sendiri, menghampiri atap rumah, dengan seketika api, mulai menjilati, mengelus, meransang pembakaran. Dan api itu benar-benar membakar rumah dengan bara yang tampak begitu memerah. Suara percikan api, membentuk nada-nada berdecit. Pesta pora para perempuan dusun itu, semakin meriah.
Cahaya tamaram yang dihasilkan dari pembakaran tersebut, membias kesetiap wajah-wajah lelaki yang pernah menggali kenikmatan dimalam-malam perzinahan, bersama perempuan itu. Jutaan bara-bara api kecil bercahaya seperti bintang itu, melambung, dan akhirnya menguap keangkasa. Seolah-olah memberi tanda bahwa penyesalan tulus yang singkat, sudah memisahkan dosa-dosa dari jiwa dan raganya.
Persengamahan api yang membakar tubuhnya, seharusnya melahirkan bau daging yang terpanggang. Namun yang menganehkan, aroma keharuman yang memenuhi seisi alam dusun itu.
‘’Mari kita nikmati kemenangan ini. Perempuan durjana telah meninggalkan dusun kita. Kini kemaluan laki kita tidak lagi berpindah-pindah,,’’perempuan gendut dengan panyudara yang terjuntai, berbaju kaos hitam koyak-koyak bergambar SBY dan JK berseru.
Sesaat setelah tiang kokoh, yang menopang rumahnya rubuh. Gelak tawa meluncur dibalik-balik, bilik yang berada disamping, depan dan belakang rumahnya. Kesunyian malam itu, disebuah dusun, tepat berada dibawah kaki gunung kebencian. Perjalanan sejarah wanita durjana itu usai, sebelum dia sempat menyelesaikan rakaat pertama, pertobatan dirinya yang durjana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun