Arete, dalam filsafat Yunani Kuno, adalah konsep yang merujuk pada keunggulan atau kebajikan, yang mencerminkan pencapaian kualitas tertinggi dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam pandangan filsuf seperti Plato, Arete adalah perwujudan kebajikan yang mencakup keadilan (justice), kebijaksanaan (prudence), keberanian (fortitude), dan pengendalian diri (temperance). Konsep ini tidak hanya fokus pada kesempurnaan individu, tetapi juga berorientasi pada kontribusi terhadap harmoni dalam masyarakat. Dalam konteks modern, Arete dapat diartikan sebagai prinsip moral dan profesionalisme yang menjadi landasan dalam berbagai bidang, termasuk audit perpajakan.
Pemeriksaan pajak adalah evaluasi yang dilakukan oleh otoritas pajak untuk memverifikasi apakah wajib pajak telah mematuhi kewajiban perpajakan yang ditetapkan. Dalam pemikiran Habermas, ruang publik adalah tempat di mana masyarakat dapat berpartisipasi dalam diskusi yang terbuka dan bebas untuk mencapai konsensus, terutama dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan umum. Jika ruang publik ini diaplikasikan pada konteks perpajakan, masyarakat dapat lebih terlibat dalam pemahaman serta pengawasan kebijakan perpajakan.
Audit pajak merupakan alat penting untuk memastikan kepatuhan wajib pajak terhadap peraturan perpajakan, terutama di sektor-sektor strategis seperti pertambangan yang dikenal dengan kompleksitas dan karakteristik uniknya. Dalam hal ini, prinsip Arete menjadi pedoman etika bagi auditor untuk melaksanakan tugas dengan integritas, transparansi, dan objektivitas. Penerapan Arete membantu auditor dalam mengidentifikasi ketidaksesuaian, meminimalkan penghindaran pajak, dan memastikan optimalisasi penerimaan negara. Auditor yang berlandaskan prinsip ini dapat menilai risiko perpajakan dengan bijaksana, menghadapi tekanan eksternal dengan keberanian, serta menjaga keadilan dalam setiap keputusan yang diambil.
Sektor minyak dan gas bumi (migas) adalah salah satu pilar utama ekonomi Indonesia yang berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara. Hubungan antara sektor migas dan perpajakan mencakup berbagai aspek, mulai dari kewajiban perpajakan perusahaan migas hingga pengelolaan penerimaan negara yang berasal dari aktivitas hulu dan hilir migas. Â Namun, kontribusi pajak dari sektor ini sering kali dipengaruhi oleh dinamika global. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa penerimaan pajak dari sektor pertambangan mengalami koreksi sebesar 39,4% pada kuartal pertama 2024, setelah sebelumnya mencatat pertumbuhan positif sebesar 72,3%. Pengelolaan sektor migas di Indonesia dilakukan melalui mekanisme Kontrak Bagi Hasil yang melibatkan pemerintah, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dan perusahaan kontraktor. Kompleksitas regulasi serta volatilitas harga minyak dunia menjadikan sektor ini rawan terhadap ketidaksesuaian pelaporan pajak dan penghindaran pajak, sehingga audit yang efektif menjadi kunci dalam memastikan kepatuhan perpajakan perusahaan migas.
1. Sistem Fiskal di Sektor Migas Indonesia
a. Production Sharing Contract (PSC)
Indonesia menggunakan sistem kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC) untuk mengelola sektor hulu migas. Dalam sistem ini:
- Pemerintah sebagai pemilik sumber daya migas memberikan hak eksplorasi dan eksploitasi kepada kontraktor migas (KKKS - Kontraktor Kontrak Kerja Sama).
- Kontraktor menanggung seluruh biaya eksplorasi dan produksi, namun mendapatkan bagian hasil produksi setelah dikurangi dengan biaya operasional (cost recovery atau skema gross split).
Evolusi PSC di Indonesia:
- Cost Recovery PSC: Kontraktor dapat mengklaim biaya operasi sebelum pembagian hasil produksi dengan pemerintah.
- Gross Split PSC (2017): Pembagian hasil langsung tanpa mekanisme penggantian biaya, dengan parameter tertentu yang memengaruhi porsi kontraktor dan pemerintah.
b. Penerimaan Negara dari Migas