Diskursus Kesadaran David R. Hawkins dan Jeff Cooper pada Upaya Wajib Pajak untuk Memperbaiki SPT
Dalam dunia perpajakan, kepatuhan wajib pajak menjadi salah satu aspek krusial yang sangat diperhatikan oleh pemerintah, terutama oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Indonesia. Wajib Pajak (WP) yang patuh tidak hanya akan memberikan pemasukan yang konsisten bagi negara tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan publik. Namun, motivasi dan alasan mengapa WP mematuhi atau tidak mematuhi peraturan pajak adalah hal yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.
Dua teori kesadaran yang dapat dijadikan referensi dalam memahami perilaku WP terhadap kepatuhan adalah teori kesadaran dari David R. Hawkins dan kesadaran situasional yang dikemukakan oleh Jeff Cooper. Meskipun keduanya berasal dari konteks yang berbeda, prinsip-prinsip dalam kedua teori ini relevan untuk diterapkan dalam konteks perpajakan, khususnya dalam membahas perbaikan atau koreksi atas Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
Artikel ini akan mengupas teori Hawkins dan Cooper dalam lingkup what (apa), why (mengapa), dan how (bagaimana) konsep-konsep ini berhubungan dengan upaya WP untuk memperbaiki SPT mereka. Juga, artikel ini akan menyajikan beberapa contoh kasus yang relevan untuk memperjelas penerapan konsep ini.
Pendekatan teori kesadaran yang diperkenalkan oleh David R. Hawkins dan Jeff Cooper menawarkan perspektif yang menarik untuk memahami perilaku wajib pajak dalam memperbaiki Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) mereka. Kedua teori ini, yang masing-masing berasal dari latar belakang psikologi dan strategi pertahanan diri, memberikan kerangka kerja untuk memahami motivasi dan kesiapan individu dalam menanggapi kesalahan atau ketidakakuratan dalam pelaporan pajak.
Â
Teori Kesadaran David R. Hawkins
David R. Hawkins, dalam bukunya Power vs. Force, mengembangkan model yang disebut skala kesadaran untuk mengelompokkan tingkat kesadaran manusia dari level yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Dalam kerangka ini, tingkatan kesadaran manusia dimulai dari perasaan negatif atau merusak seperti rasa malu (shame) dan ketakutan (fear), yang mengekspresikan level kesadaran yang rendah. Pada sisi lain dari skala tersebut, terdapat tingkatan yang lebih tinggi, yang mencerminkan kualitas seperti akuntabilitas (accountability) dan integritas (integrity). Menurut Hawkins, semakin tinggi seseorang pada skala ini, semakin kuat pula kesadaran dan kepekaan mereka terhadap tanggung jawab sosial serta etika pribadi yang mereka junjung.
David R. Hawkins mengembangkan skala kesadaran yang menggambarkan tingkatan kesadaran manusia, dimulai dari level rendah seperti rasa takut dan rasa bersalah hingga level tinggi seperti cinta, kedamaian, dan pencerahan. Dalam konteks perpajakan, wajib pajak dengan kesadaran rendah mungkin merasa cemas atau tidak peduli dengan konsekuensi ketidakakuratan dalam laporan pajak mereka. Sebaliknya, seiring meningkatnya kesadaran, mereka mulai memahami pentingnya kepatuhan pajak dan dampak positif yang ditimbulkan bagi diri sendiri maupun masyarakat. Transisi dari rasa takut menuju tanggung jawab ini mendorong tindakan proaktif untuk memperbaiki kesalahan dalam SPT.
Dalam konteks kepatuhan perpajakan, teori ini memberikan wawasan untuk memahami bahwa tingkat kesadaran pajak seorang wajib pajak (WP) dapat mempengaruhi motivasi dan perilakunya dalam memenuhi kewajiban pajak dengan benar. WP yang memiliki tingkat kesadaran tinggi cenderung bertindak secara jujur dan penuh tanggung jawab, misalnya dengan melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) secara sukarela jika terdapat kekeliruan. WP dengan tingkat kesadaran moral yang tinggi mungkin tidak memerlukan dorongan eksternal seperti ancaman sanksi atau audit dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), karena mereka sudah termotivasi untuk melakukan perbaikan sebagai bagian dari nilai integritas yang mereka pegang.