Mohon tunggu...
Edwin Cakra
Edwin Cakra Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Media Sosial

Selalu memberikan jawaban atas upaya merendahkan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pemilih Milenial Muak dengan Segala Irasionalitas "Negative Campaign" Produk Lawan Jokowi

20 Agustus 2018   15:41 Diperbarui: 20 Agustus 2018   17:12 1774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semakin hari semakin tidak rasional orang dalam membuat negative campaign. Ferdinand Hutahaean beberapa hari yang lalu membenarkan bahwa dirinya memang melakukan kampanye negatif kepada Jokowi. Bahkan dia menertawakan Sekjen PSI, Raja Juli Antoni yang merasa terusik dengan kampanye model seperti ini, dengan menyebutnya sebagai hijau dalam berpolitik.

Tetapi apakah efektif model kampanye seperti ini, khususnya ketika sadar bahwa target utama dalam Pemilu 2019 adalah kaum milenial? Mari kita ulas secara singkat model seperti apa kaum milenial tersebut. 

Pada umumnya, kaum milenial adalah kelompok yang sangat terbuka dengan berbagai informasi sebagai akibat dari besarnya pengaruh internet dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, tipikal kaum milenial adalah penggunaan rasionalitas dalam berpikir dan kepekaannya dalam memilah-milah mana hal yang serius untuk dibicarakan dan mana hal yang hanya tataran candaan. Hal ini berbeda dengan generasi 60-70 an yang cenderung gagap dalam teknologi dan saklek dalam berpikir serta berbicara.

Lalu bagaimana kaitannya dengan kampanye negatif yang sering dilakukan pihak yang berlawanan, khususnya kepada Jokowi yang secara sekelibat nampak seperti mahluk yang lemah, tidak mampu melawan dan "planga-plongo", sebuah istilah yang sering dipakai oleh para haters-nya. Dari sekian banyak kampanye negatif yang dilakukan lawan dari Jokowi, banyak hal di luar rasionalitas karena tidak fokus pada upaya mendebat program kerja Jokowi. 

Mari kita buka beberapa lembaran lama isu negatif yang pernah dilontarkan oposisi dalam kaitan kampanye negatif ini, mulai dari mempertanyakan cara memakai jas dengan kancing satu (walau sebenarnya itulah cara memakai jas yang benar), lalu ada kritik karena Jokowi makan sambil berdiri (padahal hampir di semua pesta kita lakukan itu), api obor Asian Games yang mati di tangan Jokowi (padahal peristiwa api obor mati itu terjadi beberapa kali, dan ada beritanya hanya tidak jadi perhatian) dan yang paling aneh ketika Jokowi menyerukan "Allahu Akbar" dengan intonasi Jawa (apa semua orang Jawa harus merubah intonasinya?). Hal yang paling baru adalah adegan "film" pada pembukaan Asian Games yang dianggap menipu karena menggunakan pemeran pengganti (orang yang mengerti hiburan tahu bahwa ini adalah karya tim kreatif dengan memanfaatkan berbagai trik film). 


Irasionalitas ini bermula dari penggunaan kata "cebong" di awal Jokowi berkuasa hanya karena dia senang memelihara katak. Siapapun tahu bahwa tidak ada larangan memelihara katak, dan sama saja dengan orang lain yang memelihara burung, ayam, marmut, dll. Tidak ada yang salah dengan kegemaran  tersebut. Tetapi hal ini dianggap sebagai kampanye negatif yang berhasil sehingga terus menerus digunakan dan bahkan hingga berkembang pada hal-hal lain yang tidak substantif dan irasional tersebut di atas.

Kelompok lawan Jokowi merasa bahwa kampanye negatif tersebut telah berhasil dan mengenai sasaran hanya karena banyak sambutan diterima ketika diperbincangkan di antara mereka sendiri yang membenci Jokowi. Mereka tidak melihat keluar bagaimana tanggapan dari masyarakat awam, khususnya kaum milenial tersebut.

Jika kita kembali melihat siapa yang menjadi sasaran utama dari Pemilu 2019 adalah mereka yang masih swinging (gamang), belum tahu siapa yang harus dipilih. Di antara mereka adalah kaum milenial tersebut, yang saat ini disuguhkan berbagai irasionalitas, sesuatu yang bertentangan dengan logika kaumnya. Pada akhirnya mereka melihat bahwa pembenci Jokowi adalah sekedar membenci. Mereka akan memasuki tahap 'eneg (muak) melihat sikap orang-orang yang lebih tua dan kaum tradisional agamis, yang seharusnya dapat lebih terhormat tetapi justru mempertontonkan cara bertanding yang tidak sehat. Di sisi lain, Jokowi sendiri selaku target utama dari kampanye tersebut, seperti biasa, hanya menanggapi dengan gaya khasnya terkekeh-kekeh.

Ferdinand Hutahaean, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Roy Suryo, Nanik S. Deyang, dll bisa saja keukeuh menggunakan strategi kampanye negatif ini karena dianggap berhasil, tetapi mereka lupa bahwa kaum milenial memiliki hak sendiri untuk mencoblos pilihannya. Dan saat ini mereka sudah mulai merasa muak dengan cara-cara kampanye tidak sehat tersebut sehingga suara mereka bisa saja swinging dari kelompok Prabowo yang sebenarnya sedang mendekati mereka.

Sebagai penutup, dapatkah kita kembali kepada sifat kenegarawanan dalam berpolitik?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun