Sejak koalisi Prabowo kocar-kacir akibat adanya Ijtima Ulama (IU) yang meminta Prabowo memilih satu dari dua nama yang direkomendasikan, ada selentingan bernuansa ancaman bahwa salah satu partai akan menarik diri dan bersikap netral pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Artinya tidak masuk dalam koaliso Jokowi ataupun Prabowo. Tetapi apakah hal ini diperbolehkan Undang-Undang (UU)?
Pilpres 2019 menggunakan aturan baru yang berbeda dengan aturan sebelumnya, yakni UU no. 7 tahun 2017 sehingga perlu diselami pasal demi pasal yang mengatur hal ini beserta dampaknya terhadap masing-masing partai dan perubahan pada konstelasi antar partai yang hingga tulisan ini dibuat (8 Agustus 2018 pkl 19.00) masih sangat cair.
Ternyata aturan yang ada tidak sesederhana yang selama ini dipahami masyarakat. Ada batas waktu pendaftaran hinga 10 Agustus 2018 pkl 24.00 di mana jika hanya satu pasangan calon yang mendaftar maka KPU akan memperpanjangnya 2 x 7 hari (14 hari) hingga muncul paslon lain. Jika batasan waktu ini terlampaui dan tetap hanya ada 1 paslon, maka paslon ini akan berhadapan dengan kotak kosong. Paslon tersebut harus menang 50%+1 yang tersebar di minimal pada 18 propinsi.
Perpanjangan waktu dari KPU ini seakan menjadi ruang buat mereka yang belum menemukan pasangan, khususnya koalisi Prabowo yang masih sangat cair. Tetapi sebenarnya ini bukan hal yang menguntungkan karena UU no 7/2017 pasal 235 mewajibkan setiap partai politik peserta Pemilu untuk mendukung salah satu calon sehingga tidak ada prinsip netral tersebut. Konsekuensi hukuman dari pilihan netral sangat serius yakni tidak boleh mengikuti Pemilu 5 tahun mendatang. Dari sini logika berkata bahwa tidak akan ada partai politik yang akan bersikap netral.
Aturan lainnya adalah pada pasal 229 di mana satu koalisi tidak boleh memborong suara melebihi 80% karena harus menyisakan 20% lainnya untuk lawan. Aturan ini dimaksud agar tidak terjadi melawan kotal kosong. Oleh karena itu setiap partai harus cepat berpikir dengan siapa akan berkoalisi sebelum batas max 80% di salah satu koalisi tercapai. Jika tidak maka partai tersebut akan kawin paksa dengan partai tersisa untuk menghindari posisi netral tersebut.
Semisal pasangan Jokowi mendeklarasikan pasangannya pada 10 Agustus mendatang, Demokrat, PAN dan PKS harus segera memutuskan ikut koalisi mana, tentu dengan segala konsekuensinya.
Kita andaikan Demokrat tiba-tiba menyatakan masuk koalisi Jokowi, maka PKS tidak boleh masuk ke dalam koalisi Jokowi karena koaliso tersebut akan melampaui batas maksimum 80%.
Di sisi lain, bisa saja PKS lebih dulu menyatakan masuk ke koalisi Joklowi, maka Demokrat tidak boleh lagi masuk sehingga harus "kawin paksa" dengan Gerindra, siapapun yang dipilih Prabowo sebagai Cawapresnya.
Inilah ihwal menariknya aturan Pemilu di Indonesia, semua haris bergerak dengan cepat. Namun dengan gesture yang telah ditunjukan berbagai partai selama ini, maka yang paling tersudut adalah PKS. Hal ini terjadi karena PKS menggunakan strategi yang sangat terbuka sehingga semua orang dapat mudah menilai bahwa PKS sukar bergabung dengan koalisi Jokowi akibat akan dilihat sebagai menelan ludah sendiri dan bermutasi menjadi cebong.
Akibatnya karena faktor tidak boleh netral tersebut sebenarnya dapat terbaca bahwa PKS akan pasrah siapapun yang ditunjuk Prabowo sebagai Cawapres. Hal berbeda dengan Demokrat yang dikenal bermain di dua kaki, Demokrat akan dengan mudah mengalihkan dukungan apabila AHY tidak dipilih sebagai cawapres, paling tidak posisi menteri sudah di tangan.
Ini sebuah penderitaan yang sangat berat buat PKS yang telah berkorban di Pilkada Jawa Barat, Sumatera Utara, DKI Jaya dll di mana ada kursi yang hilang ataupun jika memang tetapi tidak dipegang oleh kadernya  hanya karena berkoalisi bersama Gerindra. PKS harus lebih rajin lagi belajar bermain politik dengan tidak menggunakan strategi hitam-putih yang berujung pada zero sum game.