Mohon tunggu...
Edwin Sholeh Rahmanullah
Edwin Sholeh Rahmanullah Mohon Tunggu... Insinyur - Green Technology antusiast and share idea...

Ideation, ideas for nation... Hanya sekumpulan ide untuk bangsa

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tepatkah Industri 4.0 bagi Indonesia?

26 Maret 2019   10:13 Diperbarui: 26 Maret 2019   18:04 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mayumi Fukuyama dalam artikelnya berjudul "Society 5.0: Aiming for a New Human-Centered Society", memberikan penjelasan mengapa Jepang memilih Strategy Society 5.0 sebagai strategi nasionalnya di era transformasi digital dewasa ini. 

Jepang menghadapi masalah akut dari ekonominya yang semakin "tua", iya "tua" dalam artian sebenarnya bahwa jumlah penduduk Jepang beberapa tahun ke depan akan didominasi oleh generasi tua. 

Masa bonus demografi Jepang telah lewat, ditambah dengan angka pertumbuhan penduduk dan angka kelahiran yang sangat rendah menambah "tua" ekonomi Jepang. 

Di sinilah Jepang menilai bahwa transformasi digital negaranya diarahkan pada Human Centered, dimana manusia harusnya menjadi subjek sekaligus objek yang diuntungkan dengan adanya kemajuan teknologi. 

Maka Jepang akan berfokus pada teknologi yang memudahkan "manusia tua" Jepang, sehingga akan tetap kompetitif bersaing dengan produktivitas Negara lain. Strategi inilah yang tepat menurut Jepang.

dokpri
dokpri
Sebelumnya mungkin kita mengenal Industry 4.0, di mana sebenarnya ini adalah Strategi Nasional Negara-negara Eropa, Jerman lebih tepatnya. Mengapa Jerman memilih Strategi ini? Jerman dikenal sebagai Negara terdepan dalam Industri, Ekonominya didorong oleh Industri dan ekspor hasil industri. Paling terkenal salah satunya adalah Otomotif.

Selanjutnya Jerman juga menghadapi masalah yang hampir sama dengan Jepang, penduduknya semakin "tua". Generasi mudanya juga lebih memilih bekerja di balik meja daripada harus bekerja di pabrik. Maka otomasi di Industri menjadi sebuah keniscayaan bagi Jerman untuk mempertahankan ekonominya. Maka dipilihlah Industry 4.0 sebagai sebuah pilihan strategi bagi Jerman tetap kompetitif.

Anda juga mungkin pernah dengar Smart City, beberapa tahun lalu kita ikut-ikutan dalam uforia Smart City. Dikembangkan oleh sebagian besar kota-kota Asia.

Singapura lebih tepatnya, menggaungkan Strategi Smart Nation bagi strategi negaranya. Sudah bisa ditebak dengan mudah mengapa Singapura memilih strategi smart city, iya Negara Singapura tidak jauh lebih besar dari kota Jakarta. Maka mengembangkan Smart City dengan memanfaatkan teknologi-teknologi pada transformasi digital adalah sebuah pilihan tepat.

Mungkin Anda juga pernah dengar istilah IOT ataupun IIOT (Industrial Internet of Things). Kurang lebih sama, ini adalah sebuah gelombang strategi yang berfokus pada pemanfaatan internet dan transformasi digital untuk industri yang gencar dilakukan oleh pelaku industri di Amerika. Mengapa Amerika? Tidak perlu kaget, karena mereka memiliki Silicon Valley, pusat dari segala pengembangan teknologi digital dan internet. Sebut saja, Intel, Apple, Google, Facebook dan masih banyak lagi raksasa pemain di industri ini. Jadi mungkin ini pilihan yang sangat tepat bagi Amerika.

Terakhir, mungkin Anda jarang mendengar namun sering membaca tercetak di barang-barang yang Anda beli: "Made In China 2025". Pada tahun 2015, perdana menteri Tiongkok Li Keqiang meluncurkan Strategi Nasional negaranya dengan apa yang disebut Made In China 2025. Tiongkok berambisi menjadi Negara manufacturer produsen nomor 1 di dunia. 

Ringkasnya semua barang harus diproduksi di Tiongkok. Ada 10 sektor Utama yang menjadi target dan ada 3 tahap milestone yang ingin dicapai. Mereka juga memanfaatkan teknologi transformasi digital untuk mendukung ambisi ini. Mengapa Tiongkok memilih strategi ini? Jawabnya mudah, mereka memiliki sumber daya manusia terbesar di dunia, sebagai penggerak produksi sekaligus sebagai pasar terdekat bagi produk mereka. Dengan pasar yang besar dan skala produksi besar maka produk mereka akan menjadi sangat murah. Mereka juga memiliki luas wilayah yang luas dengan sumberdaya yang banyak. Maka untuk bersaing ke depan mereka menggunakan strategi ini.

Lantas strategi apa yang cocok untuk Indonesia? Indonesia 4.0? Smart City di seluruh kota besar di Indonesia? IoT? Cintailah Produk-produk Indonesia? Indonesia Emas? Banyak sekali wacana dan rencana yang pernah kita buat, namun apakah semua itu sudah tepat?

Membuat strategi sebuah Negara tidak bisa hanya dengan mengikuti apa yang sedang menjadi trend di dunia. Tidak pula bisa dengan hanya mengikuti apa yang dibuat oleh Negara lain, karena semata Negara tersebut lebih maju dari kita. Apa yang berhasil bagi Negara lain belum tentu bisa berhasil bagi kita.

Pertama kita harus pahami terlebih dahulu apa yang menjadi potensi dan kekuatan yang dimiliki Negara kita. Apa yang unik yang dimiliki Negara kita namun tidak banyak dimiliki Negara lain? Negara kita yang luas dengan sebagian besar wilayahnya adalah lautan adalah sebuah potensi unik yang kita miliki. Selanjutnya, Negara kita kaya akan ragam budaya juga merupakan sebuah potensi unik yang kita miliki. Jumlah penduduk yang banyak juga merupakan pembeda Negara kita dibanding nagara lain.

Berikutnya kita tentu harus menyadari kekurangan yang kita miliki. Ekonomi yang belum merata adalah salah satu kekurangan besar yang kita hadapi. Penduduk yang besar selain sebagai kekuatan juga sekaligus sebagai kekurangan jika penduduk tersebut justru menjadi beban ekonomi jika tidak cukup produktif mendorong pertumbuhan ekonomi.

Jika mengandalkan sektor industri manufaktur, Indonesia masih punya masalah pada terputusnya mata rantai dari bahan baku mineral dasar ke bahan baku siap olah yang industrinya belum mapan di Indonesia. Negara kita punya tambang mineral, namun semua itu harus diekspor terlebih dahulu ke beberapa Negara untuk diolah menjadi bahan baku siap produksi untuk mensuplai kebutuhan industri manufaktur Indonesia. 

Pada kenyataannya kita masih harus mengimpor bahan baku siap produksi. Jika kita menggenjot otomasi di sector industry, mungkin kita perlu timbang lagi imbasnya pada penyerapan tenaga kerja kita yang masih membutuhkan lapangan kerja. Harus dihitung dengan cermat kesetimbangan antara harga yang kompetitif dengan otomasi serta serapan tenaga kerja.

Melihat potensi yang dimiliki serta kekurangannya, maka kita seharusnya melihat 3 peluang yang harus dikembangkan; Ekonomi maritim, pariwisata dan industri kreatif. Pada 3 hal tersebut harusnya kita lebih fokus. Disitulah sebenarnya keunikan potensi yang dimiliki Indonesia yang tidak banyak dimiliki Negara lain. Tentu tetap dengan memanfaatkan teknologi informasi dan transformasi digital. 

Karena dengan teknologi informasi maka dengan mudah dan murah produk industri kreatif, produk maritim dan juga potensi destinasi pariwisata dapat dipasarkan. Namun, pemasaran melalui teknologi informasi yang massif tidak ada artinya jika tidak didukung dengan infrastruktur transportasi untuk memfasilitasi pergerakan manusia dan logistik barang.

Kesimpulannya mungkin perlu kita berfokus di 3 sektor Utama yakni maritim, pariwisata dan industri kreatif,  dengan 2 hal yang menjadi pondasi dasar yakni teknologi informasi dan infrastruktur. Mau dinamakan apa, terserah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun