Terobosan dari pemerintah dengan menerbitkan program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) patut diapresiasi. Karena diharapkan akan menambah pemasukan pajak pemerintah yang menunjang APBN, di mana saat ini pemerintah membutuhkan dana banyak untuk membiayai program-program pembangunan infrastruktur yang sedang digenjot. Selain itu, diharapkan dana yang selama inimengendap di luar negeri dapat ditarik masuk untuk membantu memutar roda perekonomian.
Namun, banyak orang masih meragukan integritas dari institusi penerimaan pemasukan negara yang bernama Direktorat Jendral Pajak. Masih segar dalam ingatan kasus “Gayus” yang melegenda. Meskipun banyak hal sudah dilakukan untuk membersihkan institusi ini, tapi “Syndrome Gayus” belum bisa hilang dari benak publik.
Kemudian setelah dana itu diterima, muncul pertanyaan berikutnya, apakah kita yakin dana tersebut tidak ditelikung mafia anggaran di DPR dan Kementerian? Terlalu banyak kasus korupsi di bidang Anggaran yang melibatkan anggota Dewan yang terhormat dan juga oknum-oknum di Kementerian. Sehingga meskipun dana besar masuk ke Negara, penggunaannya pun akan mengalami penyunatan. Meskipun KPK tidak berhenti mengejar koruptor-koruptor tersebut,namun sepertinya mereka tidak jera.
Apakah ada solusi lain?
Coba kita lihat akhir-akhir ini banyak trend positif dari perusahaan-perusahaan yang memiliki program CSR (Corporate Social Responsibility) dengan membantu pemerintah membangun fasilitas umum seperti taman kota dan sejenisnya.
Nah, bagaimana jika denda dari Pengampunan Pajak tersebut langsung dikonversi dalam bentuk CSR oleh perusahaan maupun perseorangan yang mengajukan Tax Amnesty? Ini akan memangkas rantai anggaran dari penerimaan sampai dengan realisasi anggaran yang sangat panjang dan beresiko besar untuk dikorupsi.
Jadi, perseorangan atau perusahaan yang mengajukan Tax Amnesty nantinya diarahkan untuk langsung membantu proyek-proyek infrastruktur pemerintah seperti pembangunan jembatan, fasilitas publik, jalan, perbaikan drainase, bendungan, pelabuhan, dan lain sebagainya. Tentunya disesuaikan dengan nilai denda dari masing-masing wajib pajak.
Perseorangan atau perusahaan tersebut sendirilah yangmelakukan pembangunan infrastrukturnya, pemerintah dalam hal ini Kementrian PU hanya memberikan desain dan monitoring terhadap pelaksanaan proyek infrastruktur tersebut. Selanjutnya dilakukan serah terima menjadi aset negara yang tentunya setelah diaudit oleh BPK dan diawasi oleh KPK.
Sebagaimana kita pahami bersama sistem birokrasi di pemerintah tentu lebih ruwet dan panjang dalam merealisasikan suatu proyek jika dibandingkan langsung dieksekusi oleh swasta. Sehingga dengan cara ini jugaakan mempercepat pembangunan infrastruktur yang sedang menjadi fokus kita bersama.
Dapat ditambahkan juga sebuah sistem lelang CSR online di mana tertera detail proyek dan nilai proyeknya. Sehingga perseorangan atau perusahaan yang berminat dapat mengajukan penawaran proyek CSR nya.
Dengan cara ini, akan secara signifikan memangkas rantai anggaran dari penerimaan sampai dengan realisasi anggaran yang sangat panjang dan beresiko besar untuk dikorupsi.