[caption id="attachment_178940" align="aligncenter" width="450" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption] Kita sekarang bicara mengenai financial inclusion, dengan pengertian membuka akses institusi keuangan seluas-luasnya buat semua orang. Buat orang kaya dan orang yang belum kaya. Melibatkan sebanyak-banyaknya orang dalam ruang aktivitas bisnis institusi keuangan seperti bank dan sekuritas. Kenyataannya yang terjadi semakin menjauh karena BI tidak paham apa yang sedang terjadi di masyarakat. Beberapa waktu yang lalu ada kampanye "Tabunganku", sebuah produk tabungan di mana orang bisa menyimpan uang dengan jumlah sedikit, tidak perlu dengan saldo minimum jutaan rupiah. Tapi hitung-hitungan tidak dilakukan apakah tabungan mendatangkan keuntungan buat penabungnya. Mengapa tidak membuat kampanye "Depositoku" saja karena akan lebih menguntungkan buat nasabah. Bunga tabungan sekarang hanya 1,75% per tahun. Ini terlalu kecil. Coba hitung kalau nasabah kecil dengan simpanan Rp 5 juta, maka bunga kotor setahun adalah Rp 87.500 yang akan langsung kena pajak 20% atau Rp 17.500. Dengan demikian per bulannya nasabah itu menerima bunga bersih Rp 5.833. Dahsyatnya, untuk selain program "Tabunganku" bank mengenakan biaya administrasi Rp 7.500 per bulan sehingga nasabah itu bukannya untung menyimpan uang di bank tapi malah tekor Rp 1.700 tiap bulan. Siapa yang mau menabung di bank kalau malah tekor? Bagaimana mau membuat financial inclusion kalau nasabah kecil diperlakukan seperti itu. Tidak masuk akal, dan inilah ciri khas pejabat Indonesia: tidak masuk akal. Target menarik Rp 100 trilyun dari masyarakat yang tadinya tidak bankable untuk menyimpan uangnya di bank tidak akan pernah mengalami kemajuan sedikit pun. Hal ini tidak mendidik orang untuk mendekat ke bank. Tidak mendidik orang yang belum kaya, siswa dan mahasiswa untuk belajar mengenal bank. Dengan biaya administrasi tabungan yang tidak menguntungkan buat wong cilik membuat masyarakat tidak tertarik berurusan dengan bank. Di sisi lain, net interest margin masih luar biasa besar di mana bank mengenakan bunga kredit yang jauh di atas bunga simpanan nasabah. Kalau bunga tabungan 1,75%, bunga kredit yang dikenakan masih di atas 10%. Sangat jauh bedanya dan bank terlalu besar mengambil untung. Dengan bunga kredit sebesar ini, wong cilik lagi-lagi tidak akan bisa mengakses layanan perbankan karena tidak akan mampu membayar bunga kredit yang selangit. Dalam bahasa risk management, resiko bisnisnya terlalu besar karena nasabah lantas harus menjual produk usahanya dengan harga mahal untuk memastikan dia bisa membayar kembali kreditnya. Padahal dengan harga mahal membuat konsumen menjauh tidak mau membeli. Ngeri kan? BI harus paham dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat bawah seperti ini. Jangan hanya meluncukan kampanye financial inclusion tapi tidak paham apa yang menjadi penghalang rakyat kecil. Program tidak akan pernah maju kalau mekanisme seperti ini tidak dipahami. Harus masuk ke hitung-hitungan detail. Bunga tabungan boleh agak kecil untuk mengefisenkan perekonomian, tapi pajaknya harus progresif. Pajak jangan disamaratakan. Bunga tabungan yang kecil jangan dipotong pajak dan biaya administrasi, kan jadinya minus. Jangan sampai bunga tabungan kecil tapi bunga kredit selangit. Jelas rakyat kecil tidak akan pernah terjangkau pelayanan perbankan karena yang terjadi bukan kesejahteraan yang meningkat, tapi pemiskinan dan kontra edukasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H