Oleh: Edward Simanungkalit
Orang Toba terkenal suka martarombo (menelusuri silsilahnya). Mereka mengurut tarombonya dari ompungnya atau dari pembawa marganya. Belakangan ini sudah sampai kepada pembuatan nomor sebagai nomor urut generasi. Penulis bermarga Simanungkalit dengan nomor 14, yang artinya generasi keempatbelas dari nenek-moyang Simanungkalit, yang bernama Ujung Tinumpak. Kemudian ketika bertemu dengan marga Simanungkalit lain, katakanlah dia itu nomor 14 juga, maka mulai diurut ke bawah ompung mulai dari anak Ujung Tinumpak Simanungkalit. Penulis menyampaikan bahwa penulis adalah keturunan dariOmpu Raja Natangkang, anak dari Ujung Tinumpak Simanungkalit. Kemudian apabila ada kesamaan dengan orang itu, maka penulis akan memperkenalkan diri sebagai keturunan berikutnya, yaitu Bahara Tunggal, sebagai generasi ketiga. Selanjutnya, apabila ada kesamaan lagi, maka akan dilanjutkan kepada ompu yang di bawahnya lagi, yaitu Marbunga Raja. Apabila dia ternyata keturunan Marbunga Raja juga, maka biasanya terakhir kami bertanya keturunan Marbunga Raja yang mana: Simanjanganjang,Siasohuring, atau Datu Nageduk. Biasanya akan ketahuan, apakah penulis memanggil abang atau memanggil adik kepadanya. Demikianlah gambaran martarombo sekilas lintas di dalam perkenalan dengan sesama teman semarga dalam lingkungan Orang Toba.
Itulah makanya buku W.M. Hutagalung: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926) demikian larisnya atau laris manis. Di dalam buku tersebut dapat dilihat tarombo Raja Ihatmanisia sampai kepada Si Raja Batak dan kemudian keturunan Si Raja Batak sampai marga-marga yang ada di sekitar Sumatera Utara daratan. Dengan cara membuat tarombo seperti itu, maka Orang Pakpak, Orang Karo, Orang Simalungun, dan Orang Mandailing menjadi keturunan Si Raja Batak. Si Raja Batak ini kampungnya di Sianjurmulamula, di lereng Pusuk Buhit. Artinya, mereka itu semuanya berasal dari Sianjurmulamula dan merupakan keturunan Orang Toba juga. Uniknya, mereka selalu menyanggahnya, karena mereka tidak merasa berasal dari Sianjurmulamula sebagai keturunan Si Raja Batak. Akan tetapi, Orang Toba selalu berusaha menyadarkan mereka bahwa mereka berasal dari Sianjurmulamula sebagai keturunan Si Raja Batak. Inilah yang biasa terlihat dan tak jarang terjadi debat di internet akibat dari masalah ini. Sedang Orang Angkola tidak begitu terlihat penolakannya, tetapi ketika Orang Angkola mendirikan gerejanya, maka mereka beri nama GKPA (Gereja Kristen Protestan Angkola) tanpa ada kata Batak di sana.
Orang Pakpak, Orang Karo, Orang Simalungun, dan Orang Mandailing merasa bahwa mereka punya kaitan dengan India Selatan, sehingga berbeda dengan Orang Toba. Belakangan ini ternyata telah jelas bahwa penghuni awal Sianjurmulamula adalah Orang Taiwan. Sehingga, berbeda rasnya, yang mana Orang Taiwan merupakan ras Mongoloid, sedang ras mereka yang menolak disebut Batak itu rata-rata ada kaitan dengan India Selatan meskipun masih sama-sama penutur bahasa Austronesia. Kalau rasnya berbeda, maka DNA-nya pun pasti berbeda juga. Yang pasti bahwa DNA Orang Toba ada perbedaannya dengan DNA Orang Karo, karena sudah ditest DNA keduanya oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Indonesia. Malah secara genetik, Orang Karo berkerabat sangat dekat dengan Orang Gayo. Belum lagi melihat sejarahnya, kalau dilihat dari segi waktu, maka penghuni awal Sianjurmulamula sampai di sana sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu, sementara mereka yang menolak tadi sudah lebih dari 1.000 tahun kehadirannya di kampung mereka. Oleh karena itu, ada dua perbedaan antara Orang Toba dengan Orang lain yang menolak disebut Batak itu, yaitu: perbedaan sejarahnya dan genetika-nya.
Kalau tarombo orang Toba dari Adam dapat dilihat di bawah ini yang disusun berdasarkan Haplogroup DNA-nya sebagai berikut:
Sumber: http://essayweb.net/biology/haplogroups.shtml
Orang Toba memiliki DNA Haplogroup O (lihat: huruf O yang diberi lingkaran warna merah). Orang Toba merupakan campuran ras Mongoloid dengan ras Australomelanesoid, sehingga Haplogroup O ini disebabkan oleh karena DNA Orang Toba itu berasal dari Orang Taiwan yang merupakan ras Mongoloid sebesar 80% (Austronesia+Austroasiatik). Sedang Orang Negrito yang merupakan ras Australomelanesoid hanya sebesar 20% dan ini yang memiliki DNA Haplogroup M (lihat: huruf M yang diberikan lingkaran merah). Pemilik DNA Haplogroup O tidak mungkin tiba-tiba melahirkan DNA Haplogroup M, misalnya Orang Toba tidak mungkin melahirkan/memiliki keturunan Orang Gayo, karena Orang Gayo memiliki DNA Haplogroup M (Lintas Gayo, 07/12-2011). Padahal, selama ini, ada yang menyebut bahwa Orang Gayo adalah keturunan Si Raja Batak dari Sianjurmulamula, sedang penghuni awal Sianjurmulamula adalah Orang Taiwan dengan DNA Haplogroup O sepenuhnya. Ini jelas tidak ada logikanya. Malah Orang Negrito yang datang ke Humbang sekitar 6.500 tahun lalu justru datang dari Tanah Gayo.
Hal seperti ini patut direnungkan kembali, karena pembuatan tarombo seperti yang dilakukan dalam buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (W.M. Hutagalung, 1926) hanya berdasarkan marga dan turiturian. Padahal, sejarah dan rasnya (DNA) berbeda meskipun mungkin marga sama seperti marga Limbong di Toraja dan marga Tambun di Minahasa pastilah berbeda dengan marga Limbong dan Tambun dari Toba. Kemudian hal itu bukanlah menjadi dasar untuk menyatakan bahwa mereka adalah keturunan penghuni awal Sianjurmulamula. Penghuni awal Sianjurmulamula itu datang dari Taiwan berasal dari suku Ami dan suku Atayal, yang merupakan suku asli Taiwan dari ras Mongoloid. Lantas dengan siapa ini mau disamakan di daratan Sumatera? Sepertinya harus lelah memandang untuk mencari-carinya. Memang ada di Nias yang mirip sama-sama berasal dari Taiwan, tetapi mereka datang ke Nias sekitar 4.000 – 5.000 tahun lalu, sementara yang datang ke Sianjurmulamula sekitar 800 (+/- 200) tahun lalu. Jelas, rentang waktunya sangat panjang, sehingga tidak mungkin orang Nias merupakan keturunan penghuni awal Sianjurmulamula. Ternyata jurus yang dimainkan di dalam buku W.M. Hutagalung: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926) itu hanyalah jurus padomuhon langit dohot tano. ***
Keterangan: Padomuhon langit dohot tano artinya mempersatukan langit dengan tanah adalah perumpamaan tentang sesuatu yang tak mungkin dipersatukan, tetapi dimungkinkan hanya di dalam kata-kata walaupun tidak pernah ada dalam kenyataan.
Catatan Kaki: ORANG TOBA: Asal-usul, Budaya, Negeri, dan DNA-nya; ORANG TOBA: Austronesia, Austroasiatik, dan Negrito; ORANG TOBA: Bukan Keturunan Si Borudeak Parujar; PUSUK BUHIT BUKAN GUNUNG LELUHUR ORANG TOBA; ORANG TOBA DENGAN SIANJURMULAMULA; oleh: Edward Simanungkalit.