89 tahun yang lalu para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara menyatukan konsep-konsep dan idiologi mereka untuk membentuk sebuah negara baru. 72 tahun yang lalu Mochammad Hatta berhasil menyatukan perbedaan pandangan dan sikap keberatan dari tokoh-tokoh di Indonesia Timur terkait isi dari Pancasila. 2017, masyarakat Indonesia masih berkutat pada isu suku, aliran, ras, dan agama (SARA). Perbedaan SARA yang harusnya menjadi kekuatan bangsa dipakai oleh oknum-oknum sebagai alat pemecah persatuan. Penghargaan pada pluralisme di satu sisi menjadi hal yang tabu bagi segelintir masyarakat. Semboyan bangsa Indonesia yang diemban sejak era Majapahit seakan-akan hanyalah sebuah tulisan belaka. Persatuan akan keberagaman yang dahulu dipuja-puja dan dibanggakan menjadi senjata ‘makan tuan’ sering perkembangannya. Sistem dan budaya politik di Indonesia lah yang menjadi bulan-bulanan karena sikap keluwesannya membuat rakyat bertindak tanpa kontrol
Tidaklah sulit melihat bentuk-bentuk penyelwengan dalam keberagaman. Sering kita melihat beragam bentuk perpecahan diakibatkan tidak sepahamnya komunitas masyarakat terkait perbedaan. Pembakaran dan penutupan gereja, masjid di beberapa wilayah menjadi hal yang lumrah di pelosok Indonesia bagian Barat dan Timur. Bukan logika dan rasionalistas yang bekerja, melainkan emosi yang menjadi dasar penentuan suatu tindakan. Intuisi yang mengarah pada kebencian keberagaman menjadi hal yang ditonjolkan. Minimnya pendidikan dan pengetahuan akan sistem berpolitik menjadi faktor yang memperparah keadaan dalam suatu kebhinekaan.
Bukanlah suatu kesalahan bila mantan presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, dalam salah satu pidatonya pernah menyebut negara Indonesia sebagai negara acuan penerapan demokrasi. Sayangnya, kebebasan demokrasi diterjemahkan dengan cara yang tidak sesuai oleh beberapa oknum. Aktor politik menjadi penggerak massa dalam berdemonstrasi dan membuat kerusuhan atas nama demokrasi. Lagi-lagi, isu yang diusung adalah praktek kebhinekaan. Nama demokrasi dicoreng dalam penyalahgunaan interpretasi dari segelintir kaum yang mengatasnamakan demokrasi dalam setiap perbuatan yang salah secara moral. Kurangnya pemahaman akan makna demokrasi sesungguhnya membuat masyarakat mau turun dan memperjuangkan apa itu ‘demokrasi’ dan ‘keberagaman’ (serta diimingi upah tertentu). Pembodohan publik yang dilakukan aktor politik semata-mata diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu, memecah belah persatuan akan keberagaman Indonesia.
Demokrasi yang terlalu fleksibel dimata rakyat membuat seakan-akan hukum menjadi tidak tegas. Supremasi hukum dikalahkan dengan hasrat para pemegang hukum. Hukum digunakan untuk melindungi kaum elite pemegang pemerintahan. Tengoklah undang-undang yang pernah dibuat SBY di tahun 2013 terkait perlindungan hukum terhadap mantan presiden. Sekali lagi, hal ini mengejawantahkan bahwa keadilan dan kesetaraan di depan hukum tidak berlaku di Indonesia. Ketidaktahuan masyarakat akan penyelewengan hukum membuat pergerakkan ini dengan mudah berjalan tanpa adanya pengawasan yang kuat dalam setiap lapisan masyarakat.
Akar dari berbagai masalah ini merujuk pada pendidikan moral dan berbangsa yang kurang. Kesadaran berpolitik masyarakat yang rendah menyebabkan gejala-gejala etnosentrisme dalam kehidupan keseharian. Keberagaman dianggap sebagai hal yang menjijikkan. Toleransi hanya dilakukan pada masyarakat yang sepaham. Agama dan persamaan suku lebih dikedepankan dibandingkan kebhinekaan. Ini mempermudah mobilisasi massa dalam memperjuangkan segala sesuatu nya dengan cap agama dan ras. Segelintir masyarakat yang mengetahui penyebab ini, memilih untuk bersikap pasif. Masyarakat subyek dan apatis lebih mendominasi dibandingkan masyarakat partisipan dalam golongan ini. Motivasi dalam mewujudkan kebangsaan menjadi mati meski kebhinekaan adalah HARGA MATI NKRI.
Generasi penerus bangsa menjadi pemegang peranan penting dalam membangun sikap kebangsaan yang telah dicita-citakan para pendiri negara ini sejak era penjajahan. Pendidikan dan pemahaman akan makna sesungguhnya menjadi fondasi penting untuk membangun bangsa yang lebih maju kedepannya. Pengimplementasian nilai-nilai keberagaman sejak muda menjadi hal pokok untuk mengembangkan mental bangsa di tengah pluralisme negara. Kesadaran akan hal-hal mendasar perlu disadari sejak muda bahwa agama, suku, aliran, dan ras bukanlah alat untuk menggerakkan politik sebuah bangsa. Soekarno pernah mengatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama namun bukan juga negara sekuler. Pemakaian agama hanyalah demi memenuhi kepentingan politik penguasa, bukan sebagai penggerak bangsa.
Revolusi ini harus terjadi dalam setiap pribadi kita. Tanamkanlah pandangan bahwa perbedaan adalah alat pemersatu bangsa, bukan pemecah. Hargailah perbedaan dan ideologi politik sesuai dengan kebenarannya. Berpolitiklah dengan baik, jangan sampai perbedaan pandangan dan preferensi memecahkan semangat persatuan dan persahabatan yang telah kita bina dengan baik. Berpartisipasilah secara aktif sebab suara kita memegang peranan penting dalan berjalan atau tidaknya pemerintahan di Indonesia. Kritik dan saran atas politik dan pemerintahan dibutuhkan untuk memajukan negeri ini.Â
Terbukalah terhadap segala perbedaan pandangan dan ideologi. Junjung tinggi semangat persatuan dalam setiap perbedaan. Berlakulah secara adil terhadap setiap masyarakat apapun perbedaan masing-masing. Sebarkan pengaruh-pengaruh baik atas pluralisme yang mendasar di kehidupan sehari-hari dengan harapan semakin banyak orang memiliki cara pandang yang sama. Junjung tinggi segala keberagaman dan berbanggalah akan hal itu sebagai warga negara Indonesia. Demi Jaya Indonesia Sekarang Dan 100 Tahun Mendatang. NKRI. #bersamamerawatperbedaan
- Edward Siman
Penulis merupakan siswa kelas 2 SMA Kolese Kanisius, Menteng, Jakarta Pusat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H