Pada Selasa, 30 Juni 2020, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengusulkan untuk mencabut Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) dalam Prolegnas 2020. Sebelumnya Baleg menyebutkan ada sejumlah RUU yang ditarik dari Program Legislasi Nasional (prolegnas) tahun 2020, salah satunya adalah RUU P-KS ini. Padahal, RUU P-KS ini sudah didesak oleh publik beserta aktivis untuk segera disahkan karena sudah lama pembahasannya macet bertahun-tahun di legislasi. Akhirnya, banyak pihak yang mengkritik keputusan DPR untuk menarik RUU tersebut dari Prolegnas 2020.
Selasa kemarin, Baleg DPR RI menggelar rapat evaluasi Prolegnas Prioritas 2020 dengan seluruh komisi. Dalam rapat tersebut, Baleg mendapat usulan dari Komisi VIII DPR RI yang dulu berinisiatif untuk mengajukan RUU P-KS ini, malah berniat untuk menarik RUU P-KS ini dari Prolegnas Prioritas tahun 2020. Ketua Baleg DPR RI, Supratman Andi mengaku mendapat surat pengusulan pencabutan RUU P-KS dari Prolegnas Prioritas dari Komisi VII DPR RI. Akhirnya berdasarkan rapat kemarin dan usulan dari Komisi VIII, maka Baleg pun menerima usulan pencabutan RUU tersebut.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Fraksi PKB, Marwan Dasopang mengatakan, komisinya sudah mengirim surat ke Baleg DPR RI sejak maret lalu terkait usulan pencabutan RUU P-KS dari Prolegnas Prioritas 2020. Marwan mengatakan bahwa penarikan RUU P-KS ini berdasarkan  pembahasannya yang masih sulit sehingga masih membutuhkan waktu untuk benar-benar rampung dibawa ke Prolegnas lagi. Namun, Marwan melanjutkan, bahwa komisinya akan mengusulkan RUU baru untuk dibawa ke Prolegnas Prioritas 2020, yaitu RUU Kesejahteraan Lanjut Usia. Padahal RUU itu sama sekali tidak terdengar pembuatannya.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad juga menjelaskan perihal pencabutan RUU P-KS dari Prolegnas Prioritas 2020. Sufmi menganggap apa yang diusulkan oleh Komisi VIII sebagai inisiator sudah rasional, karena RUU P-KS ini masih menuai polemik di masyarakat kemudian di kaum perempuan juga. Meski begitu, wacana pencabutan RUU P-KS dari Prolegnas ini belum final karena baru usulan dari Komisi VIII pada rapat Baleg kemarin. Selanjutnya RUU P-KS ini akan dibahas terlebih dahulu bersama pemerintah pada Kamis (2/7) besok.
Wakil Ketua Baleg DPR RI Fraksi Partai Nasdem, Willy Aditya mengatakan usulan Komisi VIII tersebut nantinya akan dibicarakan dengan pemerintah terlebih dahulu sebelum diputuskan dicabut atau tidak. Ia mengatakan jika RUU P-KS ini memang harus dicabut jika tidak keburu sampai Oktober nanti, maka RUU P-KS ini bisa dimasukkan lagi ke Prolegnas tahun depan yaitu 2021. Tetapi keputusannya baru akan keluar nanti setelah melihat status dan dinamika di masing-masing komisi dalam rapat tripartit Kamis besok.
Hal ini membuat banyak pihak kecewa dengan keputusan Komisi VIII ini, termasuk Komnas Perempuan dan Amnesty International Indonesia. Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad menyesalkan usulan penarikan tersebut. Menurutnya, pembahasan RUU P-KS yang tak kunjung usai lantaran DPR tidak memiliki keinginan kuat untuk memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Padahal menurutnya, korban kekerasan seksual sekarang semakin banyak dan perlu mendapat perlindungan.
Komnas Perempuan juga menilai apabila Komisi VIII DPR RI memang tidak sanggup membahas RUU P-KS, sebaiknya diserahkan kepada alat kelengkapan dewan yang lain seperti Baleg. Bukan malah menarik RUU P-KS dari Prolegnas. Ia pun lebih lanjut meminta pimpinan DPR memenuhi janji untuk melindungi korban kekerasan seksual melalui RUU P-KS sebagai bentuk hadirnya negara terhadap korban. Catatan Komnas Perempuan bahwa selama 12 tahun belakangan ini, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat hampir 8 kali lipat. Terdapat setidaknya 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2019 yang mayoritas bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani Pengadilan Agama.
Amensty International Indonesia juga menyesalkan tindakan Komisi VIII dalam penarikan RUU tersebut. Pihak Amensty International Indonesia menilai bahwa RUU ini sudah mendesak disahkan demi terciptanya perlindungan hukum para korban kekerasan seksual, terutama perempuan. Mereka menilai bahwa selama ini payung hukum komprehensif bagi para penyintas kekerasan seksual ini belum ada dan rumusan hukum yang lain terkait kekerasan seksual masih memuat banyak celah yang mendorong ketiadaan hukuman atau impunitas pelaku kekerasan seksual.
Maka dari itu, Amnesty International Indonesia beserta lembaga-lembaga aktivis lain berjuang dari 2007 mendorong pemerintah untuk membuat sebuah perundang-undangan terkait khusus kekerasan seksual. Nyatanya sampai RUU P-KS ini setuju untuk dibahas dan sudah masuk Prolegnas dari tahun 2016, RUU tersebut sampai hari ini belum disahkan, malahan akan ditarik kembali dari Prolegnas 2020. Padahal Amnesty sudah melakukan penelitian sejak 2007 sampai sekarang bahwa kekerasan seksual semakin tahun semakin banyak terjadi. Banyak para kaum perempuan, khususnya di ranah profesi belum terlindungi dengan baik. Untuk itu, Amensty International Indonesia selalu mendorong pemerintah wajib proaktif memajukan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan sesuai kewajiban HAM internasional.
RUU P-KS ini sangatlah penting karena selain membantu para korban kekerasan seksual untuk terus berjuang mendapat keadilan, RUU ini juga penting untuk menjaga dan melindungi hak-hak perempuan baik di ranah publik maupun di ranah privat. RUU P-KS ini juga dapat mengatur hak korban untuk mendapatkan pemulihan pada aspek fisik, psikologis, ekonomi, sosial, dan budaya. Sehingga nanti ketika mereka kembali ke komunitasnya, masyarakat tidak memiliki stereotype yang negatif kepada para korban tersebut. Dengan adanya RUU P-KS ini, perangkat hukum yang terbatas akan terisi kekosongannya, sehingga penegakan hukum akan berorientasi pada hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan.
Tindakan Komisi VIII dengan menarik RUU P-KS tersebut dari Prolegnas 2020 atas dasar kesulitan juga membuktikan bahwa tidak ada keseriusan dan political will dari para anggota Komisi VIII untuk terus memperjuangkan RUU P-KS ini agar segera disahkan demi mellindungi rakyatnya. Dengan anggaran yang berlimpah, mereka seharusnya lebih mudah melakukan kegiatan studi banding, bekerja sama dengan aktivis atau lembaga terkait, atau bisa juga mendatangkan para pakar atau tenaga ahli untuk bersama merumuskan RUU ini. Selama kurang lebih 4 tahun RUU ini mandek terus menerus di Prolegnas adalah bukti jelas DPR menyepelekan kasus kekerasan seksual yang selama 12 tahun ini meningkat 729%.