Pagi ini seperti biasa, aku mendengar bisikan hangat yang membuat tidur ku terjaga , “Ayo bangung, siap-siap buat ikut bantu Ayah kerja”. “Sebentar lagi”, gumam ku sambil memejamkan mata dan menarik selimut menutupi seluruh wajah ku. Aku melirik sebentar ke samping ranjang, ku lihat Ayah masih duduk di situ menunggu ku bangun, “Kalo nggak mau ikut Ayah berangkat duluan”, sambil beranjak meninggalkan tempat tidur. Aku langsung bergegas bangun dan menuju kamar mandi, meskipun masih ada perasaan ngatuk dan mata ini belum puas untuk terpejam. Ayah sudah menanti di depan rumah sambil menyiapakan peralatan yang dibutuhkan untuk hari ini, aku keluar rumah menuju halaman, dinginnya pagi ini masih terasa sampai menusuk ke dalam tulang-tulang ku. “Tolong bawakan peralatan yang ada di teras”, teriak ayah dari luar halaman, aku mengangkat semua perkakas itu lalu bergegas menghampiri ayah yang sudah menunggu di halaman depan.
Hari ini sebenarnya hari libur sekolah dan aku berencana menggunakan liburan ini untuk bermalas-malasan di rumah. Namun sejak 4 hari yang lalu, justru liburan ini ku habiskan untuk ikut membantu Ayah, pada hari pertama aku benar-benar kesal karena liburan ku harus berakhir seperti ini. Meskipun mulut terus berkeluh, namun aku tetap menyelesaikan semua pekerjaan yang telah diberikan pada ku. Aku terlahir sebagai anak seorang pekerja keras, Ayah bercerita bahwa dia dulu hidup sebagai orang susah. Sejak kelas 1 SMA ia sudah hidup jauh dari orang tua hanya untuk sekolah, belajar hidup mandiri dan membiasakan diri dengan keadaan. Meskipun sekarang bisa dibilang hidup kami berkecukupan, tapi Ayah bukanlah orang yang senang memanjakan anaknya dengan barang-barang bagus, meskipun mampu untuk membelikan barang yang ku minta tapi dia selalu menolak jika itu bukan barang yang benar-benar penting untuk di beli. Disaat teman-teman ku sudah memiliki handphone, aku harus bersabar karena Ayah bersikeras karena belum saatnya aku boleh memiliki handphone. Disaat teman-teman ku berangkat sekolah dengan menggunakan kendaraan, aku masih berkutat dengan sepeda butut ku, karena Ayah belum mengijinkan ku menggunakan motor sampai aku memiliki SIM. Terkadang aku berpikir bahwa Ayah adalah orang yang pelit.
Akhirnya kami sampai di tempat yang ku sebut sebagai “kantor” yang berukuran 2 × 2 Meter persegi, beratapkan jerami, beralaskan bambu, dan tidak memiliki dinding, di situ hanya ada sebeuah tikar gulung yang biasanya ku gunakan untuk istirahat siang. Aku lalu berganti pakaian dan menyiapkan semua peralatan yang nantinya akan digunakan saat bekerja. “Ayah berangkat duluan, Ayah tunggu di sana, bawa peralatannya nanti.”, sambil beranjak meninggalkan ku di gubuk. Hari ini pekerjaannya masih sama seperti 4 hari yang lalu, aku harus menyemprot seluruh tanaman liar yang ada di sawah menggunakan pestisida, sementara Ayah membersihkan tanaman liar yang telah mati disemprot menggunakan parang dan menyisihkannya ke pematang sawah. 2 tahun terakhir ini ayah “lagi” hobi bertani, alasannya untuk menghemat pengeluaran rumah tangga, agar tidak membeli beras terus di pasar. Jika kalian ingin tau bagaimana rasanya jadi petani, mungkin aku sudah merasakan sebagian kecil dari susahnya jadi petani. Tangki yang digunakan untuk menampung pestisida memilik volume 15 Liter yang artinya tangki itu memiliki berat sekitar 15 Kilogram, belum lagi jika cairan pestisida itu tumpah mengenai punggun maka akan terasa perih. Panasnya siang serta berjalan di atas lumpur seluas 500 Meter persegi, ditambah nyamuk yang terus berterbangan di sekitar tubuh, dan itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang dikerjakan oleh petani sesungguhnya.
Siang ini seperti biasa, aku dan Ayah memakan bekal yang telah kami siapkan dari rumah. Selesai makan aku kemudian duduk sembari menikmati angin sejuk yang berhembus, siang ini aku benar benar merasa ngantuk “Ayah, aku ingin tidur sebentar”, Ayah hanya menganggukan kepala sambil beranjak meninggalkan gubuk untuk melanjutkan pekerjaannya. Pekerjaan ku menyemprot tanaman liar hari ini sudah selesai, jadi aku bisa tidur sebentar, mungkin sekitar beberapa jam tertidur kemudian aku bangun karena nyamuk yang mulai berdatangan, aku tertegun sejenak memandang Ayah di kejauhan yang sedang bekerja di sawah, hanya sebuah topi yang ada dikepala dan pakain lusuh yang menjadi pelindung tubuhnya dari sengatan terik matahari. Melihat aku bangun, Ayah kemudian berteriak dari kejauhan “bawakan air yang ada di botol kemari, Ayah haus”, aku bergegas menghampirinya sambil membawakan minum. Kami duduk di pematang sawah di bawah sebuah pohon, “Gimana rasanya jadi petani ? Cape”, Ayah memulai pembicaraan. Aku hanya menganggukan kepala sambil menatap kerjaan Ayah di sawah yang belum selesai. “Ayah ingin kamu tahu, bahwa pekerjaan menjadi petani itu tidak mudah. Kamu seharusnya bersyukur tidak terlahir sebagai anak seorang petani, makanya sekolah yang tinggi, biar dapat pekerjaan yang tidak bikin tangan kotor, bisa duduk di ruangan yang sejuk dengan pakaian yang rapi”. Mungkin Ayah tidak pernah menuntut banyak dari saya, akan harus jadi apa saya nanti jika sudah besar, harus kaya gini atau harus kaya gitu, dia hanya ingin saya jadi anak yang berbakti dan bisa membanggakan orang tua. Aku diam sejenak sambil menahan air mata, kemudian beranjak ke sawah membantu menyelesaikan pekerjaannya. Sore pun menjelang, kami pun merapikan peralatan kami dan bersiap pulang. Ku pandangi sejenak lahan yang telah kami kerjakan selama 4 hari ini, ternyata tak terasa semua lahan sudah hampir bersih dan siap ditanami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H