Menarik, ketika kami membaca coretan yang ditulis oleh Oskari Vesterinen tentang national tests, di ujung tangga pendidikan menengah atasnya di Finlandia. Vesterinen mencoba menulis dalam perspektifnya sebagai obyek. Iya benar. Sebagai obyek penderita yang harus menghadapi dan menjalani gegap gempita ujian nasional di negaranya.
Siapa bilang, siswa Finlandia tidak stres saat menghadapi ujian nasional? Siapa bilang, ujian nasional tidak menjadi sesuatu yang menegangkan bagi siswa Finlandia?
Iya, ternyata memang hampir mirip. Meski Vesterinen mengakui, bahwa secara umum siswa di Finlandia terasa lebih "santai" dalam menyikapi permasalahan "bersekolah". Bahkan ia mengaku takjub, tatkala menengok keseriusan siswa di Korea Selatan yang dipandang memiliki komitmen dan fanatisme yang lebih tinggi, sehubungan dengan studi mereka. Nah, bahkan ia mengaku bingung, bagaimana mungkin negaranya menduduki OECD PISA rankings yang demikian tinggi, dengan sistem pendidikan seperti yang ia jalani?
Sebelum menjawab. Ada baiknya, kita menelaah tentang apa itu PISA? OECD atau Organisation for Economic Cooperation and Develpment sebagai pengawal PISA, berkedudukan di Paris, Perancis. Setiap tiga tahun sekali, setiap negara ditelaah terkait dengan prestasi literasi siswa dalam membaca, matematika, dan sains, khususnya bagi siswa sekolah yang berusia 15 tahun.
Setiap negara diwajibkan untuk mengikuti prosedur, seperti uji coba dan survei, penentuan populasi dan sampel, dan lain sebagainya, termasuk dalam hal pengendalian mutu. Pada tahun 2006, sudah ada 57 negara partisipan, dan Indonesia sendiri, bergabung sejak tahun 2000.
Apakah ini globalisasi pendidikan? Ah, kita lupakan saja sejenak hal seperti itu ;) Dalam hal MEMBACA, yang diukur adalah sejauh mana siswa bisa memahami, menggunakan dan merefleksikan literasi yang dibacanya, dalam bentuk tulisan. Sementara MATEMATIKA, lebih pada kemampuan mengidentifikasi, memahami dan menggunakan dasar-dasar matematika dalam menghadapi problema kehidupan sehari-hari. Untuk SAINS, lebih menitikberatkan pada penggunaan pengetahuan dan kemampuan mengidentifikasi masalah, guna dapat memahami fakta-fakta dan membuat keputusan yang terkait dengan alam dan perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar.
Kembali ke Finlandia. Pada musim semi tahun ketiga SMA di Finlandia, sekolah coba diakhiri dengan lebih cepat. Mungkin tujuannya, untuk memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar dalam menyongsong ujian nasional. Konon, seumur hidup bersekolah, siswa Finlandia hanya berhadapan dengan UN sekali saja ;)
UN yang dimaksud, semacam test matrikulasi, pasca menyelesaikan SMA, sebagai persiapan duduk di bangku kuliah. Menurut Vesterinen, ini semacam batu loncatan bagi lulusan SMA, sebelum ia belajar di Universitas. Jadi jika misalnya si Vesterinen ini ingin kuliah di Jurusan Filsafat, maka pria berusia 19 tahun itu harus memiliki nilai matrikulasi yang lebih baik, ketimbang calon mahasiswa pelamar Jurusan Filsafat. Semakin tinggi nilai yang diperoleh, maka akan semakin besar peluang untuk mendapatkan jurusan dan Universitas yang diidam-idamkan. Pada titik itu, setiap anak Finlandia akan memerlukan nilai ujian yang tinggi. Dan untuk itu, harus belajar!
Jika di Indonesia, kejadian ini mirip UMPTN atau Sipenmaru jaman dahulu kala. Jika saat ini, dikenal dengan istilah SBMPTN. Namun sepertinya, perbedaannya, ada pada titik matrikulasi pada jurusan yang hendak disasar. Taksiran kami, jika hendak berkuliah di jurusan Filsafat misalnya, maka akan menghadapi matrikulasi yang berbeda dengan nilai yang dibutuhkan pada Jurusan Komputer. Demikian pula, untuk kasus yang lain.
Nah, di Finlandia. Setelah siswa tingkat akhir tidak bersekolah, mereka diberi durasi untuk menjalani "Reading Vacation", yakni semacam waktu liburan yang digunakan untuk membaca. Waktunya, sekitar 3 minggu, dan ini akan terasa terlalu cepat bagi para siswa ;) Mereka mengaku, liburan akan terasa tiba-tiba usai, dan mereka belum merasa siap untuk menghadapi Ujian Nasional.
Menurut mereka, Reading Vacation menuntut tanggung jawab penuh kepada siswa untuk belajar. Seperti dikatakan oleh Vesterinen,"Saya harus belajar!" Begitu ungkapnya dalam hati. Mereka kala itu, akan menjaga jarak dengan komputernya, dan benar-benar menghindar untuk "say hello" kepada Facebook! Namun yang menarik, seperti banyak remaja yang lain, mereka mengaku hanya sanggup untuk menghindar dari Facebook, hingga 5 menit saja! hehehehe :D