Gadis kecil yang tersesat di hutan, berharap ada seseorang yang membawa cahaya penerang. Begitu analoginya. Sial, aku terlelap dalam sebuah rasa yang sepenuhnya bukan milikku.
Bagaimana tidak aku tak terlelap, gadis kecil yang membutuhkan penerangan kemudian dari arah Timur ada seseorang membawa lampu untuk menemani langkah gadis itu keluar dari hutan. Namun di tengah perjalanan orang itu menghilang, tanpa pamit, bahkan sepatah kata pun tak terucap.
Begitu denganku. Memang puan selalu mengedepankan perasaan dibanding logika atau pikiran. Seseorang yang kukira akan melangkah berdampingan denganku, membimbingku tanpa mendikte, menyuport dalam hal kebaikan ternyata peranggapanku salah. Tuan hanya hadir disepenggal kisahku.
Hancur? Sebagian. Kenapa? Mungkin ada seseorang yang lebih hancur dariku. Ah sial, padahal sama-sama hancur. Tapi aku tak mau egois. Aku menerima kesalahanku. Aku (perempuan) dia juga perempuan. Tak seharusnya aku beriringan dengan Tuan.
Sekali lagi, aku gadis kecil yang kau tinggalkan di dalam kegelapan hutan yang telah diberi harapan. Kalau kau datang untuk menerangi kembali, aku masih di tempat yang sama.
Tapi sepertinya Tuhanlah yang lebih tau. Tak mengapa, aku berjalan sendiri meski tak ada yang menerangi. Tuan memang tak menerangi secara kasat mata, tapi petuah Tuan masih ku pegang untuk menerangi jalanan yang gelap ini. Sampai bertemu di titik yang memang ditakdirkan Tuhan untuk bersapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H