kapankah laylatul qadar? tanya bibir manismu.
aku kelu, bibirku seperti dipaku palu.
tentu tak ada di dalam tidurmu, sayang. jawabku setelah beku berlalu.
ia seperti mimpi yang keluar dari pembaringan cinta
laksana bidadari sejenak menginap di dunia
di mana cahaya terlihat memancar dari matajiwa
dan waktu meruang dalam zikir kesunyian margasatwa
relungmu merunduk, merenungi kataku sedemikian khusyuk.
aku faham, engkau belum bisa mencerna bahasa sajak
namun pada hatimu hendak kutitipkan jejak
: tapak sejuta ulama yang menangkap tanda di antara benda-benda
yang tersirat pada butiran debu dan sepoi udara
jagalah malam puasa kita, sayang.
mari menangkap seribu cinta dari langit
sebelum bumi terjaga dan melenyapkan hak kita buat berdoa.
aku mengelus keningmu sampai engkau tak pernah terjaga.
merem-melek matamu menguatkan lagu rindu
dalam kebat karat jantungku.
untuk apa? kenapa kita harus menunggu malam usai?
bukankah laylalul qadar tak pernah kita fahami
karena ia rahasia rembulan nan misteri?
engkau merengut menangkai tanya menandai larut
dimana kubit gemintang nyaris terbenam
aku mengela nafas untukmu. biar engkau mengerti
betapa tuhan akan tetap menyayangi malam-malamnya
dan setiap manusia sedia memeluknya sepenuh jiwa.
itulah keajaiban malam ramadan, sayang.
malam menjadi lebih indah ketimbang siang
titik-titik kemilau merangkai gairah daripada surya
dan titah tuhan dalam qur’an, menciptakan malam 1000 bulan
bukan siang 1000 bulan.
engkau diam menyamai tenang angin
aku menggigil memandang matamu yang dingin…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H