“Wahai para santri sekalian… Jika kalian ingin menjadi orang sukses, maka kalian mesti bekerja sebagaimana orangtua kalian bekerja! Kalau orangtua kalian petani, jadilah petani! Kalau orangtua kalian kuli, jadilah kuli! Kalau orangtua kalian pedagang, jadilah pedagang! Tapi jangan lupa isi kitab yang sudah diajari harus diamalkan…”
Itulah perkataan Kiai yang disampaikan kepada semua santri pada malam terakhir, dan di benak Mahmud, pertuah itu masih terngiang-ngiang.
15 tahun kiranya cukup bagi Mahmud untuk meninggalkan pesantrennya. Ia tinggal di tempat pondokan itu oleh karena ia menjadi anak yatim, bapaknya meninggal ketika ia masih bayi, dan emaknya kemudian membawanya ke pesantren sejak ia berumur 6 tahun agar menjadi orang berguna. Usianya kini sudah 21 tahun, bagi orang pelosok desa, umur itu sudah cukup untuk bekerja atau menikah.
Tapi benak Mahmud terus saja menghayati perkataan Kiai. Itulah pesan baginya sebagai santri yang akan pulang ke rumahnya.
“Emak, almarhum bapak dulu bekerja apa?” Mahmud bertanya kepada Emaknya.
Si Emak yang waktu itu menyalakan tungku tiba-tiba terkejut, “Memangnya ada apa kau bertanya begitu?” ia tanya balik.
“Sebelum saya boyongdari pesantren, Kiai berpesan kepada saya dan teman-teman yang mau boyong, kata beliau…Jika kalian ingin menjadi orang sukses, maka kalian mesti bekerja sebagaimana orangtua kalian bekerja… Terus, almarhum bapak dulu bekerja sebagai apa, Mak?”
Si Emak tambah terkejut, ia tambah bingung kiranya akan dijawab bagaimana. Ingin menjawab sebagai petani, ia tak punya sawah untuk menjadi bukti. Ingin menjawab sebagai kuli, rasa-rasanya janda tua itu akan berbohong. Ingin dijawab pedagang, justru sangat jauh dari kenyataan. Karena berpuluh-puluh tahun ia hidup dalam kemelaratan dan kemiskinan. Sejak kematian suaminya 20 tahun silam, ia hanya bertahan hidup dengan menanam singkong di halaman rumahnya, dan membarternya dengan beras.
“Kenapa Emak kelihatan bingung? Dijawab lah, Mak…! Saya kan ingin hidup sukses!” Mahmud berseru.
Si Emak yang sudah keriputan dan penuh uban itu hanya diam. Dia gemetar-gemetar, encoknya seperti kambuh lagi. “Bapakmu… Bapakmu dulu tidak bertani atau berdagang, Mud. Kerjaan dia jadi maling….!” Jawab si emak terjingkik-jingkik.
Mahmud sontak kaget, “Apa?! Bapakku pekerjaannya MALING?”
***
Bagaimana pun seorang santri harus estu alias takdzim kepada dawuh Kiai. Pitutur seorang kiai harus diemban dengan sebaik mungkin. Tetapi permasalahan Mahmud kini cukup bersinggungan.
“Menjadi maling bukankah prilaku yang sangat dilarang oleh agama? Namun Kiai berpesan, jikalau ingin sukses, maka pekerjaannya harus sama dengan orangtuanya. Haruskah aku menjadi maling?” hatinya kini berdiskusi.
Mahmud membuka kitab yang diajirinya di pesantren dulu, Kitab Sullam. Pada kitab tersebut terdapat keterangan:
“…Mencuri merupakan perbuatan dosa besar…”.
Pikirannya semakin kacau. Ia tak ingin menjadi ahli jahanam, ia juga tak mau masuk penjara. Berhari-hari ia terpekur sendiri, bahkan tak henti mengaji Qur’an, Shalat, dan puasa, dengan harapan mendapat petunjuk Yang Maha Esa.
Akhirnya, mau tak mau, Mahmud harus tetap mantap dengan keyakinannya. Bahwa setiap petuah Kiai pasti akan melahirkan keberkahan hidup. Mau tak mau, Mahmud harus tekad bulat menerima kenyataan dirinya sebagai maling. Toh, ia takkan mencuri dari sekedar mencuri. Ia pun tak ingin menjadi maling biasa,
“Aku ingin menjadi maling beriman!” Ujarnya kepada diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H