Mohon tunggu...
Eduardus Benedictus Sihaloho
Eduardus Benedictus Sihaloho Mohon Tunggu... -

Peminat masalah sosial dan kemasyarakatan, senang membaca, suka menulis, pencinta olahraga khususnya Sepakbola, harus tetap cinta Indonesia untuk selamanya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kebebasan Beragama Hanya Isapan Jempol Semata

26 November 2012   11:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:39 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Eduardus B. Sihaloho, S.Ag

Undang-undang Dasar Tahun 1945 Pasal 29 ayat 2 berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Secara yuridis kebebasan beragama di Indonesia tercinta ini tidak mengalami masalah, sebab dalam Undang-Undang Negara hal itu secara jelas dituliskan atau diundangkan. Namun yang menjadi masalah adalah ketika kebebasan tersebut menyangkut pelaksanaan atau pengejawantahan dari undang-undang tersebut. Hal diatas hanya tepat ketika hanya berbicara aturan (hukum), namun manakala hal tersebut menyangkut fakta atau kenyataan tampaklah bahwa undang-undang di atas sangatlah bertolak belakang dengan kenyataannya. Sebab sebagaimana kami alami di Kota Tanjungbalai-Sumatera Utara bahwa sudah sekitar tiga tahun ini panitia pembangunan menunggu lahirnya izin untuk mendirikan rumah ibadah (Gereja Katolik St. Yosef) di Paroki St. Mikael Tanjungbalai, tak kunjung juga terbit. Padahal prosedur untuk memperoleh izin tersebut sudah dilaksanakan sesuai dengan amanat Surat Keputusan Bersama dua menteri yakni Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No: 8 dan 9.

Kalau dibandingkan dengan salah satu sisi kehidupan lain di tempat domisili kami bahwa untuk membuat atau menjadikan sebuah gudang atau bangunan sebagai café (remang-remang) tidak menghadapi kendala yang cukup berarti, ketika pengusaha café tersebut mengajukan atau menyampaikan izin usah café tersebut. Artinya, dari kenyataan ini tampak bahwa lebih mudah memperoleh izin bangunan untuk kegiatan yang merusak moral masyarakat daripada izin pendirian rumah ibadah dimana orang-orang dibangun akhlak atau moralnya. Dengan demikian jelaslah bahwa bangsa ini lebih mendukung kerusakan moral bangsa daripada membangun dan memperbaiki moral, akhlak, dan nurani bangsa. Sebab di café remang-remang yang kami sebutkan di atas bahwa kegiatan yang dilakukan disana sejauh infromasi yang kami peroleh dan pantauan kami adalah tindakan mabuk-mabukan, minum minuman keras, kegiatan “esek-esek”, perkelahian hingga hingar-bingar musik yang mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar. Perilaku-perilaku di café tersebut, jelaslah bukan untuk menjaga apalagi memperbaiki moral manusia, tetapi untuk menghancurkan kepribadian manusia (masyarakat).

Data di atas hanyalah sebuah kasus yang terjadi nyata di tengah masyarakat, namun tidak menutup kemungkinan bahwa tindakan-tindakan diskriminatif lain kepada warga yang minoritas sangat jamak terjadi. Artinya, undang-undang dasar Negara kita yang berbunyi bagus itu hanya isapan jempol semata.

Kenyataan tindakan-tindakan diskriminatif dan pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi akhir-akhir ini di tengah masyarakat diperkuat lagi dengan data yang dipublikasikan oleh Setara Institute. Lembaga Swadaya Masyarakat tersebut menyatakan baru-baru ini bahwa di Nusantara telah terjadi peristiwa pelanggaran kebebasan beragama sebanyak 224 kasus sejak bulan Januari hingga Nopember 2012. Data tersebut dipaparkan oleh Ismail Husni, Peneliti Setara Insitute, saat menghadiri acara Hari Toleransi Internasional, di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Bandung, pada hari Jumat 16 Nopember 2012. Dari temuan tersebut ternyata wilayah yang menempati rangking pertama sebagai daerah yang paling sering melakukan pelanggaran kebebasan beragama adalah Provinsi Jawa Barat. Menurut data yang dirilis oleh Setara Institute tersebut terdapat 215 bentuk tindakan mayoritas agama tertentu kepada agama lain yang minoritas dalam bentuk tindakan pengrusakan tempat ibadah dan tindakan intimidasi.

Menurut temuan LSM tersebut ternyata bahwa kasus intoleransi yang terjadi selama ini adalah berupa intimidasi hingga pengrusakan. Yang cukup sering terjadi adalah perusakan rumah ibadah, perusakan masjid. Dari tindakan perusakan dan intimidasi itu terdapat dua kelompok korban yang paling sering mendapat tindakan intoleransi tersebut yakni umat Kristiani dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Berdasarkan kesimpulan yang dipaparkan lembaga tersebut bahwa peristiwa pelanggaran kebebasan beragama tersebut dalam dua tahun terakhir ini terus mengalami peningkatan. Artinya, visi bangsa untuk memberikan kebebasan beragama di tanah air sesuai dengan amanat UUD 1945 semakin jauh dari harapan.

Selain itu, badan dunia internasional yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengamati bahwa kebebasan beragama di Indonesia telah berada di titik nadir yang sangat mengkhawatirkan. Karena itu mereka sangat mendesak agar pemerintah Indoensia mengatasi masalah diskriminasi beragama tersebut. Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Navanethem Pillay di Jakarta menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia mesti menjamin kebebasan bagi setiap kelompok agama, menyusul kian meningkat dan tidak adanya tindakan tegas untuk mengakhiri diskriminasi terhadap kelompok minoritas. “Dalam hal agama, Undang-Undang Dasar Indonesia menjunjung prinsip (non-diskriminasi), dengan menyatakan bahwa setiap orang memiliki kebebasan agama sesuai pilihannya. Pada saat yang sama bersamaan, semua ini hilang jika tindakan tegas tidak diambil dalam menanggapi tingkat kekerasan yang terus meningkat, kebencian terhadap minoritas agama dan interpretasi sempit serta ekstrim mengenai Islam”, kata Pillay dalam konferensi pers yang berlangsung di Kantor Perwakilan PBB, Jakarta Pusat.

Akhir-akhir ini bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragama telah menyengsarakan korban seperti komunitas Jemaat Ahmadiyah, GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, jemaat Syiah, dan para penganut kepercayaan. Berita tentang pelanggaran ini juga telah menggema ke seluruh tanah air, namun tindakan tegas dari pemerintah untuk meredakan penderitaan para korban secara khusus untuk memberikan kenyamanan kepada korban tak juga kunjung tiba. Padahal masalah tersebut telah masuk juga ke jalur hukum. Buktinya permasalahan yang melanda jemaat GKI Yasmin telah dimenangkan dalam sidang perkara di Mahkamah Agung, namun pejabat daerah dimana jemaat GKI Yasmin hendak mendirikan rumah ibadah, tak juga mengindahkan keputusan badan peradilan Negara tersebut. Dari kenyataan ini tampak bahwa keputusan hukum yang berkekuatan tetap pun masih bisa dikangkangi oleh pejabat. Dengan demikian kuasa dan jabatan jauh lebih kuat daripada kekuatan hukum yang bisa mengatur seluruh insan di Negara ini. Karena itu, seharusnya pemerintah dalam hal ini Presiden sebagai Kepala Negara harus bisa mengatasi persoalan ini, dengan menegaskan wibawanya yakni menghormati hukum, karena sesuai keputusan MA, GKI Yasmin sudah diputuskan untuk didirikan, namun hingga kini harapan doa jemaat GKI Yasmin tak juga datang menghampiri mereka.

Padahal Negara seharusnya mampu menegakkan hukum dan berani melawan bahkan menundukkan tuntutan kelompok-kelompok intoleran. Sebab dengan tidak ditegakkannya keputusan MA tersebut, Presiden sebagai kepala Negara semakin turun dan jatuh wibawanya di tengah masyarakat. Sebab dia sebagai kepala pemerintahan pun bisa menggerakkan para aparat di bawahnya untuk melaksanakan tuntuan hukum dan keadilan yang melanda masyarakat. Presiden seharusnya mampu memberikan kenyamanan kepada warganya, apalagi hal ini berkaitan dengan hak asasi manusia, sebagai hak dasar manusia. Kalau tidak, berarti bahwa bagusnya isi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia hanya isapan jempol semata, karena hak asasi manusia untuk melaksanakan ajaran agamanya dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya diabaikan oleh pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun