Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pilpres 2024, Benarkah PKS Hanya Pelengkap?

20 Januari 2022   21:16 Diperbarui: 24 Januari 2022   07:05 1324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahmad Syaikhu Presiden Partai Kesejahteraan Sosial/PKS (sumber: jawapos.com)

Mayoritas masyarakat mendukung keputusan menteri pendidikan tersebut. Namun, PKS mengambil posisi yang berbeda dengan keinginan publik. Terbaru, fraksi PKS menolak rancangan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual (RUU TPKS) jadi inisiatif DPR. 

PKS menilai naskah RUU TPKS saat ini belum komprehensif memasukkan seluruh tindakan kesusilaan (selengkapnya dapag dibaca di sini). Padahal, mayoritas publik menginginkan RUU TPKS tersebut segera di-undangkan.

Kedua, PKS kehilangan tokoh kunci

Sejauh ini kader PKS belum memiliki elektabilitas yang mumpuni. Berbeda dengan kader partai lain yang memiliki tokoh sentral dengan tingkat elektabitas yang dapat diperhitungkan. 

Hal ini bertolak belakang dengan trend elektabilitas partai yang meningkat. Peningkatan elektabilitas partai tidak ekuivalen dengan elektabilitas kader partai. Potret elektabilitas kader partai PKS sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

Perlu diingat bagi PKS adalah pemilu 2024 adalah pertarungan figur. Sosok calon presiden berpengaruh terhadap suara partai. Seketika orang akan lebih memilih figur ketimbang partai.

Keuntungan efek ekor jas terbukti pada pilpres 2019. Yang paling diuntungkan adalah PDI-P dan Partai Gerinda. Karena memiliki calon sendiri saat pilpres 2019. Ini yang mesti diingat oleh PKS.

Jika tidak ada kader PKS yang memiliki elektabilitas tinggi, maka PKS hanya sebagai partai pelengkap. Ini pernah dialami oleh PKS selama pilpres 2009, 2014, dan 2019.

Ketiga, isu dan kerja politik yang cenderung eksklusif

Perlu diakui cara kerja PKS cenderung eksklusif dan mementingkan kelompok atau golongan tertentu. Isu politik yang berkembangkan hanya seputar agama. Isu semacam ini tentu berhasil untuk kelompok tertentu namun tidak untuk yang lain.

Alhasil, PKS banyak kehilangan suara di basis masa non-muslim seperti NTT. Padahal partai dengan basis Islam seperti PKB dapat merebut 2 kursi dari NTT. Hal ini karena kerja politik PKB yang lebih inklusif dan bertekad menjadi pelindung kaum minoritas.

Dengan pola kerja partai yang eksklusi, PKS semakin kuat di beberapa daerah tertentu. Namun, dalam waktu bersamaan PKS juga kehiangan suara di daerah yang lebih terbuka. Sayang sekali PKS kehilangan suara di daerah dengan jumlah pemilih yang cukup banyak. Sekian!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun