Oleh. Eduardus Fromotius Lebe
(Penulis, Konsultan Skripsi dan Dosen)
Ini kali kedua, penulis mengangkat tema yang sama. Tema yang menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut Permendikbudristek PPKS.
Pro kontra Permendikbudristek PPKS ini memasuki babak baru. Banyak kalangan yang mendukung, namun tidak sedikit pula yang menolak Permendikbudristek PPKS. Dalam ruang demokrasi, hal semacam ini sangat wajar. Argumentasi-argumentasi kedua kelompok pro dan kontra dapat dengan muda kita baca di media sosial. Dari argumentasi yang rasional sampai pada argumentasi irasional melebur dalam satu ruang digital.
Permendikbudristek PPKS secara umum bertujuan untuk untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan seperti kampus. Namun persoalannya muncul karena interpretasi setiap pasal di Permendikbudristek PPKS masing-masing kelompok berbeda-beda. Apalagi kalau ditafsirkan sesuai dengan kepentingan masing-masing kelompok. Ini tentu berbahaya bagi keberlangsungan suatu peraturan yang akan ditetapkan.Â
Sebenarnya, sederhana saja kalau kita mau menafsirkannya suatu aturan. Paling tidak ada tiga metode yang lazim digunakan dalam menafsirkan sebuah aturan yaitu: penafsiran menurut bahasa (gramatikal), penafsiran secara historis, dan penafsiran secara teleologis. Berikut ini penjelasan singkat dari masing-masing metode tersebut.
Pertama, penafsiran menurut bahasa (gramatikal). Penafsiran ini memaknai suatu ketentuan dalam peraturan berdasarkan pada makna kata, kalimat, dan tata bahasa dalam pengertian sehari-hari. Kedua, Penafsiran secara historis. Penafsiran ini dilakukan dengan cara melihat sejarah dan kondisi pada saat peraturan dibentuk, dengan melihat pada catatan debat pada saat peraturan dibuat (memorie van toelichting). Ketiga, penafsiran teleologis. Metode penafsiran ini tidak mempermasalahkan pengertian harfiah yang mempunyai arti ganda, melainkan melihat pada tujuan keseluruhan dari suatu peraturan (setkab.go.id, 15 Mei 2015).
Ketiga metode penafsiran tersebut sangatlah penting dan bisa dijadikan dasar kesimpulan  kita. Bisa saja kita pro, bisa saja kita kontra selama kita mengkaji secara benar sebuah aturan. Kesimpulan bahwa sebuah aturan itu urgen atau tidak sangat bergantung pada hasil kajian kita berdasarkan ketiga metode tersebut.
Untuk menjawab pertanyaan atas judul tulisan ini, penulis menguraikan jawab berdasarkan kajian ketiga metode penafsiran atauran. Tentu dalam hal ini atauran yang dikaji adalah Permendikbudristek PPKS. Berikut ini hasil kajian ketiga metode penafsiran tersebut:
1. Penafsiran menurut bahasa (gramatikal).