Sejak ditunjuk oleh Presiden Jokowi untuk memimpin Pelaksanaan Percepatan Penurunan Stunting di Indonesia, maka Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pun merespon kepercayaan tersebut sebagai suatu tanggung jawab besar yang harus direalisasikan. Karena itu, program percepatan penurunan stunting kemudian menjadi program prioritas utama di tahun ini bersamaan dengan pelaksanaan program Pendataan Keluarga 2021 (PK2021) yang akan dilaksanakan pada bulan April mendatang. Target penurunan angka stunting dari saat ini yang mencapai 27 persen adalah mencapai angka 14 persen pada 2024 mendatang. Target ini tentu dinilai cukup serius sehingga perlu kerja sama, dukungan, dan keseriusan banyak mitra dalam mewujudkan target tersebut.
Menindaklanjuti hal ini, maka bentuk sosialisasi BKKBN kepada masyarakat, kini tidak hanya mengenai program Keluarga Berencana (KB), tetapi juga akan dibarengi dengan sosialisasi tentang pemberdayaan ketahanan keluaga. Hal ini sesuai dengan apa yang diinstruksikan oleh Presiden Jokowi dalam Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Kemitraan Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) Tahun 2021 di Istana Negara, Kamis 28/1/2021 secara virtual. Dengan demikian, akses kesehatan, akses pendidikan, ketercukupan gizi seimbang, serta sanitasi yang baik, adalah indikator yang wajib diprioritaskan agar keluarga Indonesia menjadi berkualitas, serta generasi emasnya tidak mengalami stunting.
Agar anak-anak kita terbebas dari stunting, salah satu hal urgen yang wajib diperhatikan adalah cakupan gizi dan nutrisi yang seimbang. Gizi optimal adalah isu kursial yang menjadi perhatian serius di hampir semua lini kehidupan. Betapa tidak, gizi merupakan salah satu indikator penting dalam perkembangan dan pertumbuhan generasi milenial di masa mendatang. Usia yang sangat penting untuk mendapatkan gizi optimal adalah usia balita. Seperti yang kita tahu bersama bahwa usia balita merupakan masa dimana proses pertumbuhan dan perkembangan terjadi dengan sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan gizi yang cukup dalam jumlah dan kualitas yang lebih banyak, karena balita umumnya mempunyai aktivitas fisik yang cukup tinggi dan masih dalam proses belajar (Welassih & Wirjatmadi, 2012). Jika asupan gizi tidak optimal, maka anak-anak kita akan mengalami stunting.
Dalam arti yang sederhana, stunting merupakan suatu kondisi dimana terjadi kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam jangka waktu yang cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi (Millennium Challenga Account, 2014). Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit, dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa. Perlu diketahui bahwa kejadian stunting pada balita lebih sering terjadi pada usia 12-59 bulan dibandingkan balita usia 0-24 bulan. Kejadian stunting dapat meningkatkan beberapa risiko misalnya kesakitan dan kematian, serta terhambatnya kemampuan motorik dan mental.
Persoalan stunting merupakan gambaran status gizi kurang yang berkepanjangan selama periode paling genting dari pertumbuhan dan perkembangan di awal kehidupan. Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun balita. Salah satu faktor adalah jumlah balita (anak) yang banyak dalam satu keluarga, sehingga berpengaruh pada pola pertumbuhan balita. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan keluarga akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan menjadi tidak merata.
Namun begitu, balita yang memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih sedikit belum tentu terbebas dari stunting. Karena bisa jadi, faktor pembagian makanan yang kurang adil dapat juga mengakibatkan balita tersebut mendapatkan jumlah makanan yang kurang, sehingga asupan gizinya pun kurang. Selain itu, pola asuh yang salah seperti membiasakan anak yang lebih tua mendapatkan jumlah makanan atau asupan gizi yang lebih banyak di bandingkan dengan anak yang lebih muda (balita) dapat juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya jumlah kejadian stunting pada balita. Inilah yang kemudian menjadi salah satu prioritas utama BKKBN dalam program Bangga Kencana, di mana jumlah anak dan jarak kelahiran haruslah diperhatikan secara serius oleh setiap keluarga, terutama pemenuhan asupan gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Kalau melihat fakta di Provinsi kita NTT, saat ini isu stunting dan gizi buruk kronis menjadi perhatian serius, sehingga menjadi salah satu Program Prioritas Nasional. Sejak tahun 2017, BKKBN menjadi salah satu dari 23 Kementerian/Lembaga yang masuk dalam tim intervensi penanganan stunting. Perwakilan BKKBN Provinsi NTT di tahun 2019 memberi lokus stunting di 160 Kabupaten/Kota. Selanjutnya, di tahun 2020, lokus pencegahan stunting bertambah menjadi 260 Kabupaten/Kota. Lokus pencegahan stunting tersebut tersebar di 21 Kabupaten se-Provinsi NTT dengan total sasaran adalah 117.606 keluarga. Target ini diarahkan pada 140 desa yang memiliki angka stunting cukup tinggi, (Artikel berita Perwakilan BKKBN Provinsi NTT, 24/2/2020).
Intervensi yang dilakukan oleh BKKBN pada dasarnya diarahkan pada upaya preventif melalui promosi dan KIE pengasuhan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), sejak kehamilan sampai anak berusia 2 tahun. Harapan terbesar dari upaya preventif ini adalah keberhasilan proses pertumbuhan dan perkembangan anak pada periode emas. Ketercukupan nutrisi pada 1000 HPK merupakan hal yang sangat penting karena bisa mencegah stunting atau gagal tumbuh pada anak. Pasalnya, stunting dapat terjadi sejak awal kehamilan jika terjadi hambatan pertumbuhan pada janin dalam kandungan.
Maka dari itu, baik ibu maupun keluarga harus memastikan agar nutrisi yang diperoleh untuk janin tercukupi dengan baik. Misalnya mengonsumsi, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral secara seimbang. Disamping itu, para ibu harus memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif pada anak sampai umur 6 bulan, dan setelah umur 6 bulan diberi Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya. Lebaih lanjut, para ibu harus rutin memantau pertumbuhan balita di posyandu. Selain itu, pencegahan stunting juga dilakukan oleh Perwakilan BKKBN Provinsi NTT secara langsung kepada remaja putri sebagai calon ibu, melalui pendekatan Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) dan Bina Keluarga Remaja (BKR) dengan total kelompok di NTT yang menjadi sasaran sebanyak 786 kelompok.
Dengan demikian, untuk bisa mencapai NTT yang bebas stunting, memang membutuhkan waktu yang cukup panjang. Bahkan agar program tersebut bisa terealisasi secara optimal, maka perlu ada pendampingan dan pembinaan secara berkelanjutan. Karena itu, kita perlu membangun niat bersama, agar pemenuhan gizi bagi setiap anak di NTT terpenuhi, khususnya pada 1000 HPK. Kalau kita bekerja sama, dan memberi edukasi yang terencana, maka hemat saya, generasi milenial kita akan menjadi pribadi yang cerdas, sehat, kuat, dan tangguh di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H