Mohon tunggu...
Eduardo Edho.R
Eduardo Edho.R Mohon Tunggu... lainnya -

Seorang pribadi yang ingin selalu berkembang dan belajar hal-hal baru, belajar menulis, berpetualang mencari setiap pengalaman hidup yang bermakna!.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Desa dalam Kaca Mata Siswa

16 Juli 2011   04:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:38 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dilema besar yang sering dihadapi oleh lulusan perguruan tinggi adalah ketika harus bersaing memperebutkan peluang dalam dunia kerja yang penuh kompetisi. Tuntutan globalisasi mengharuskan ‘produk’ perguruan tinggi tidak hanya mengandalkan kemampuan akademik semata, tetapi juga dituntut mempunyai nilai plus sebagai pendukung kemampuan akademik yang dimilikinya, artinya kemampuan yang tinggi di bidang akademik bukanlah harga mati untuk melicinkan jalan dalam merebut peluang kerja yang lebih baik, dan menumpuknya ‘gelar’ seseorang  tanpa diimbangi dengan skill yang mapan serta pengalaman kerja yang cukup juga akan berujung pada apa yang disebut “pengangguran terdidik”.

Perguruan tinggi sering menjadi kambing hitam akibat fenomena ini, karena tidak mampu menghasilkan ‘produk’ siap pakai. Di sisi lain banyak ahli berpendapat bahwa hal ini terjadi akibat sistem pembelajaran yang cenderung konvensional dan monoton. Prestasi hanya diukur dari nilai akademik, misalnya hanya diukur dari nilai IPK tinggi dengan mengesampingkan  aspek penilaian diluar akademik, pedahal sesungguhnya hal itu tidak menjamin seorang lulusan perguruan tinggi akan sukses di dunia kerja, disisi lain kurangnya bersosialisasi dengan masyarakat membuat lulusan perguruan tinggi mandek di dunia kerja, ditambah lagi masih bercokolnya pemikiran bahwa menjadi pegawai negri atau yang lazim disebut pegawai negri sipil (baca;PNS) sebagai ladang pekerjaan utama. Ini bukanlah sebuah pemikiran yang keliru, akan tetapi paling tidak konsep pemikiran ini perlu diperluas untuk mencari peluang lain, misalnya berwiraswasta (berwirausaha) di desa dengan memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah sekaligus turut menggerakan roda perekonomian  desa.

Berdasarkan laporan Bank Dunia pada tahun 2007 yang lalu, Robert B. Bawollo menyebutkan bahwa ternyata perekonomian desa adalah kontribusi terbesar dalam perekonomian global serta perekonomian nasional di negara-negara maju dan berkembang sekitar 85% di sumbangkan oleh desa. oleh karena itu keterkaitan ekonomis antara desa dan dunia pasar global adalah sebuah realitas praksis sebuah pasar yang asimetris. Terlepas dari persoalan sifat dasar kapitalisme yang mengakui (bahkan menghendaki) realitas ketidaksetaraan. Persoalan kita tidak  terletak  pada soal percaya atau tidak  dan menerima atau menolak kesimpulan tersebut, melainkan harus ada upaya menemukan argumentasi mengapa kita percaya atau tidak percaya, menerima atau menolak semua itu berujung pada fokus pola piker yang dilandasi dan di dorong perubahan prilaku ekonomi  di pedesaan yang sedang gamang menghadapi hegemoni ekonomi pasar.

Melihat posisi desa saat ini, penulis berpendapat perlunya reformasi perubahan pola pikir masyarakat kita yang bisa dikatakan tidak siap dalam menghadapi perubahan arus ekonomi pasar (baca;global) yang semakin mencengkram perekonomian desa, sementara itu tidak adanya sistem perekonomian desa yang lebih modern karena keterbatasan akses pendidikan membuat masyarakat desa semakin “termiskinkan” sekaligus termarginalkan, sehingga kemiskinan di desa menjadi sebuah siklus ‘lingkaran setan’ yang sulit diputuskan.
Mahasiswa sebagai kaum muda sering kali disebut sebagai “agent of change” harus berani mendobrak sistem-sistem tradisional yang telah mengakar kuat sejak Indonesia merdeka. Di sinilah peran mahasiswa dibutuhkan sebagai fasilitator dan motivator sekaligus sebagai penggerak. kenapa harus mahasiswa? Karena mahasiswa memiliki pola pikir yang lebih maju dibanding generasi muda yang tingkat pendidikan dibawahnya, terutama generasi muda yang tidak bisa mengenyam pendidikan dibangku perguruan tinggi karena keterbatasan informasi dan kurangnya akses pendidikan serta keterbatasan biaya.

Mahasiswa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungan masyarakat. peran serta mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat  di masa depan tercermin dari perannya di lingkungan kampus. Kampus adalah tempat belajar mengembangkan diri dan potensi agar mencetak agent perubahan yang dapat memberikan kontribusi bagi bangsa dan negri ini  menjadi lebih baik. Kampus juga berupaya menjadikan mahasiswanya sebagai generasi yang ahli dibidangnya serta memiliki sensitivitas sosial yang tinggi terhadap masyarakat.

Sebagai asset masa depan, mahasiswa perlu diasah pengetahuan dan ketajaman intelektualnya agar dapat berkontribusi dengan baik dalam tatanan masyarakat, sebagai pemegang tongkat kepemimpinan masa depan harus dipersiapkan segala sesuatunya sejak dini karena dimasa depan tantangan akan semakin berat. Utamanya dalam membangun desa selain berbekalkan disiplin ilmu yang dimiliki para mahasiswa juga harus memiliki sikap optimis dalam segala situasi dan kondisi. Selain itu ketegaran, kemandirian, kemauan, kemampuan, kecintaan dan semangat kerja keras merupakan modal kuat untuk mendorong masyarakat desa dan generasi muda lainnya untuk dapat berperan aktif dalam mendukung kesuksesan pembangunan daerah terutama desa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun