Mohon tunggu...
Eduard Tambunan
Eduard Tambunan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pemuda sederhana yang sedang belajar dan mengejar panggilan hidup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karena Hati Tidak Memilih

2 Juni 2013   18:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:38 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1370173681670450123

Hari ini kembali aku melihat wajahmu yang terselip diantara keramaian. Kali ini tidak curi-curi atau secara sembunyi-sembunyi. Dengan sadar dan sepengetahuanmu, aku ingin lihat apakah kau berkenan jika aku memandangi wajahmu. Keberanian yang aku kumpulkan sedikit demi sedikit kali ini sudah terkumpul utuh sehingga kali ini ingin rasanya kedua bola mata ini beradu pandang denganmu. Sepertinya kamu salah tingkah, ya? Atau kamu memang tidak bermaksud seperti itu? Kamu berusaha terlihat asik meladeni pembicaraan orang-orang di sebelahmu. Kamu berusaha terlihat sibuk menggerakkan tubuhmu kesana kemari. Dan kamu berusaha mengabaikan keberadaanku. Kamu malu ya? Kamu tidak memperdulikan tatapanku. Aku merasa tidak digubris. Aku merasa diacuhkan. Harapanku untuk mendapat balasan tatapan matamu terbalas dengan pengabaian dan keacuhan dirimu terhadapku, perlakuan yang membuatku semakin penasaran padamu. Sudah aku putuskan untuk tidak menggambarkan sosok tubuhmu dalam benakku. Sudah aku urungkan niatku untuk tidak membuat pembahasan serta pembicaraan mengenai dirimu. Beberapa kali aku pastikan diriku untuk menyudahi kebiasaan menangkap senyumanmu dalam ketidaktahuannmu. Satu detik. Dua detik. Aku berhasil meniadakan semua hal tentang kau dan dirimu. Tetapi dalam detik ketiga, ingatan tentang dirimu semakin hebat berkecamuk dalam memoriku. Semakin bulat keinginan untuk melupakanmu, semakin hasrat ini dalam dan penuh mengenangmu kembali. Aku tidak sepenuhnya paham darimana dan bagaimana perasaan ini mencuat. Berkali-kali aku tanya diriku mengapa sehebat ini jatuh kepadamu dan tak pernah sekalipun aku temukan alasan yang logis dan diterima akal. Apa yang dilihat mataku dari dirimu, ikatan emosional seperti apa yang pernah terhubung diantara kita, perlakuan manis apa yang pernah kita perbuat? Tidak secuil katapun yang sanggup memberi sedikit penerangan dan penjelasan. Semuanya samar-samar, semakin tidak jelas. Yang aku tahu, ini adalah sebuah perkara hati yang tidak bisa memilih dan dipilih kepada siapa dia akan bertautan. Tidak seperti anak sekolah yang harus menempuh ujian seleksi masuk terlebih dahulu supaya mereka bisa memasuki sekolah tertentu. Anak sekolah harus memenuhi persyaratan tertentu sebelum akhirnya mengikuti serangkaian test dan ujian. Hati, dia tidak punya persyaratan yang mutlak tentang standard dan kriteria seseorang yang akan dia sukai. Dia tidak memilih apakah harus bermata sipit, berhidung mancung, atau berambut lurus. Dia tidak menempuh ujian supaya dia bisa menyukai, menyayangi, atau mencintai seseorang. Dia tidak harus lulus ujian terlebih dahulu supaya dipersilahkan dan diizinkan menyukai seseorang. Dia tidak mengenal waktu kapan dia akan jatuh, apakah besok, lusa, sebulan kemudian, atau setahun kemudian. Dia tidak tahu apakah jatuh disaat yang tepat, kurang tepat, atau tidak tepat sama sekali. Dia tidak mengerti kondisi dan situasi, apakah jatuh pada saat sedang kesepian atau disaat-saat dia sudah siap untuk jatuh. Terkadang, dia tidak membutuhkan alasan  dan pembelaan mengapa dan kepada siapa dia jatuh. Dia jatuh tanpa perencanaan dan perhitungan. Dia tidak pernah memilih harus jatuh kepada seorang yang berkacamata, seorang ahli tarik suara, atau seorang yang ahli merangkai kata-kata. Karena hati tidak memilih, yang aku tahu, milikku ini jatuh berawal ketika dua pasang bola mata saling memandang. Berawal dari mata lalu turun ke hati. Karena aku tidak tahu bagaimana ini semua berawal, maka aku pun tidak tahu bagaimana harus mengakhirinya. Karena hati tidak memilih, perkara hati tidak perlu diumbar-umbar, kan? Ya, tidak perlu diumbar-umbar. Cukup simpan didalam hati, lalu didoakan. Mungkin hanya Tuhan yang punya jawaban bagaimana, kapan, dan seperti apa “perkara hati” ini akan menemui akhirnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun