Mohon tunggu...
Ed Santo
Ed Santo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

anak tpinang,orang jawa besar di sumatera cari makan di jakarta dan manca negara, seorang pengecut untuk memulai sebuah revolusi - edsanto@rocketmail.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

SBY TKO oleh Sultan, Warga DIY, Masyarakat, dan Kompasianer

16 Desember 2010   00:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:42 1727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mana yang monarki dari Sultan yang biasa mengendarai sendiri mobilnya, tanpa pengawal, hingga ia ditilang polisi di Cirebon dalam perjalanan Yogya-Jakarta, hanya karena ia bertelanjang dada akibat udara panas? Pemimpin dengan singgasana sesungguhnya tidak di kemegahan istana, tapi di kerendahan jiwa publik yang mendukung dan harus ia bela. Dengan semua yang dimilikinya”.(Radhar Panca D.)

[caption id="attachment_78339" align="alignnone" width="150" caption="Lambang Keraton Yogya"][/caption] SBY Yang Menabur Angin, SBY Yang Menuai Badai

Pernyataan Pres. SBY terkait monarki Kesultanan DIY sungguh aneh bagi “alam semesta” NKRI, terlebih sungguh menyakitkan bagi Keluarga Besar Kesultanan Yogya dan masyarakat DIY-sekitarrnya. Entah latar belakang macam apa atau hanya nafsu berkuasa saja yang membuat Presiden SBY yakin dan bulat secara konyol dan nekat menyatakan demikian. Mulutmu adalah harimaumu, kali ini tampaknya Pres. SBY mencontoh pembantunya yang setia dan terkenal dengan sikap berani maju walaupun tak bermutu karena sudah tidak punya rasa malu yakni si Ruhut “mulut Poltak harimau” Situmpul. Mungkin beliau mengira bahwa perkataannya terkesan cerdas, tapi tidak bagi pemirsanya, karena dari sisi “pemirsa” berasa pedas dan terkesan culas. Jadi batasnya tipis antara cerdas atau culas. Walhasil, Pres. SBY menuai badai kecaman dari pihak “korban” dan masyarakat DIY juga pihak2 yang tak dapat disebutkan satu per satu.

Pemerintah Pusat – Opsi Pemilihan

Presiden SBY, Wapres Boediono, Djoko Suyanto-Menko Polhukam, Gamawan Fauzi-Mendagri, Patrialis Akbar-Mentri Hukum&HAM, Abrurizal Bakrie-SetGab, Para Menteri KIB 2, Juru Bicara Presiden, Staf Ahli Presiden, Satgas itu-ini, Tim sini-sana, para pengusaha sponsor (Sampoerna,Tommy Winata, Harry Tanoe, Cs), para konsultan SosPolEkomBudHanKam, FOX Management, 3 Trio Mallarangeng, LSI Denny JA, para konsultan PR dan Pencitraan, para rekanan lembaga “pesanan” survey, Istana Raja Cikeas, Keluarga Besar Partai Demokratdari DPP to DPC, pentolan Partai Demokrat; Anas Urbaningrum, Max Sopacua, Sutan Boegana, Ruhut “Mulut Poltak Harimau” Situmpul, Ramadhan Pohan, Roy Suryo, partisipan Pres. SBY & Demokrat, kompasianer die harder SBY- Bernandang Delta Bvlgari & Felix. Pemerintah pusat dan gerbongnya ini memaksa dan keukeuh serta ngotot menerapkan metode pemilihan. Sebutan lain disini bagi Pemerintah Pusat adalah Kubu SBY.

Kesultanan & Warga DIYs – Opsi Penetapan

Sri Sultan Hamengkubuwono X, Sri Paduka Paku Alam IX, Keluarga Besar Keraton plus Abdi Dalem, Pemrov & Pemkot DIY, masyarakat DIY dan sekitarnya, DPRD DIY kecuali Fraksi Partai Demokrat, akademisi, pengamat politik dan social, cendekiawan, tokoh bangsa dan tokoh masyarakat, tokoh agama, para elemen organisasi masyarakat di dalam dan diluar DIY, mahasiswa dan pelajar se-DIY dan BEM se-nusantara, serta sebagian Kompasianer. Kubu yang berisikan para “korban” dan pendukung demokrasiini maju tak gentar pantang mundur bertahan supaya tetap menggunakan metode penetapan. Sebutan lain bagi Kesultanan dan Warga DIYs adalah Kubu Alam Semesta DIY. Hidup penatapan! Hidup Yogya! Hidup Sultan dan Paku Alam! Hidup Rakyat! Rakyat bersatu tidak dapat dikalahkan!

Daftar Pembelaan (perlawanan) ke Pemerintah Pusat

1. Sri Sultan Hamengku Buwono X

”Saya tidak tahu yang dimaksud dengan sistem monarki yang disampaikan pemerintah pusat. Pemda DIY ini sama sistem dan manajemen organisasinya dengan provinsi-provinsi yang lain, sesuai dengan Undang-Undang Dasar, UU, dan peraturan pelaksanaannya,”

”Di dalam draf RUUK pemerintah, Sultan dan Paku Alam ada di dalam institusi Parardhya, yang mendapatkan hak imunitas, ini berarti tidak bisa dijangkau hukum, apakah itu tidak bertentangan dengan konstitusi? Apakah itu demokratis atau malah monarki?”

”Kalau sekiranya saya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan DIY, jabatan gubernur yang ada pada saya ini akan saya pertimbangkan kembali,”

2. GBPH Prabukusumo, Adik Sultan Hamengku Buwono X

"Saya memperjuangkan penetapan karena saya membela harga diri dan martabat Bapak (Sultan Hamengku Buwono IX),"

“Bapak (Sri Sultan HB IX) dengan penuh kesadaran mengorbankan harga dirinya sebagai Raja Keraton Yogyakarta yang berdaulat penuh untuk bergabung dengan NKRI. Karena keputusannya itu, berarti Sultan HB IX rela menyerahkan kekuasaan Keraton Yogyakarta dibatasi oleh undang-undang, peraturan pemerintah, dan lainnya”.

3. Eka Santoso, Ketua Dewan Musyawarah Kasepuhan Masyarakat Adat Tatar Sunda

“proses pengangkatan Sultan HB X menjadi Gubernur DIY oleh rakyatnya merupakan kearifan local”.

4. Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Arief Natadiningrat, Keraton Kasepuhan-Cirebon

Kami berharap, negara ini tidak melupakan sejarah. Dulu sebelum kemerdekaan Bung Karno meminta dukungan keraton untuk bisa membuat NKRI terwujud, karena saat itu tak ada dana untuk mendirikan negara. Saat itu keraton-keraton menyerahkan harta yang mereka punya untuk kemerdekaan negara ini,"

5. AA GN Ari Dwipayana, Dosen FISIP Universitas Gadjah Mada

”Yang terjadi di DIY bukanlah sistem monarki, tetapi lebih pada tradisi budaya yang secara eksis berkembang dan mengakar kuat. Harus diakui, eksistensi keraton sangat kuat. Persoalannya, bagaimana menempatkan keraton dalam sistem pemerintahan modern. Itu yang harus dijawab dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (Yogyakarta),”

6. Hestu Cipto Handoyo, Dosen Hukum Tata Negara UAJ Yogyakarta,

“dengan menyebut sistem monarki, Yudhoyono tidak memahami konsep keistimewaan DIY. ”SBY (Yudhoyono) tampaknya salah menafsirkan keistimewaan DIY,”

“Sejarah harus dipakai sebagai referensi utama dalam menyusun undang- undang yang mengatur tentang tata negara. Keistimewaan DIY muncul karena adanya hak privilege yang diberikan Pemerintah Indonesia yang berkuasa saat itu kepada Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam V”

7. Burhanuddin Muhtadi, Pengamat Politik

“hal ini bukti kesalahan strategi komunikasi Presiden SBY”

“Ketika menyebut kata monarki, Kepala Negara seharusnya memperjelasnya. Dalam ilmu dasar politik, ada dua jenis monarki. Pertama, monarki absolut yang tidak sejalan dengan demokrasi. Kedua, monarki konstitusional yang sejalan dengan demokrasi”

8. Soetandyo Wignyosoebroto, Guru Besar Sosiologi dari Unair Surabaya

“Yogyakarta telah menyelamatkan RI di masa-masa sulit tatkala penguasa negeri ini lahir saja belum. Saat baru berdiri, Republik hampir ambruk karena Belanda datang lagi. Sultan menawarkan ibu kota pindah ke Yogyakarta dan Republik terus berlanjut,”

9. Hotman Siahaan, Sosiolog dari Unair Surabaya

“status keistimewaan Yogyakarta tidak patut dipertanyakan lagi. Pemerintah pusat juga tidak sepatutnya menyebut Keraton Yogyakarta sebagai bagian dari monarki. ”Mereka yang mempertanyakan keistimewaan Yogyakarta tidak mengerti sejarah dan sumbangsih Yogyakarta,”

“anggapan yang menilai sistem pemerintahan di Provinsi DIY bersifat monarki jelas salah alamat. Kalau toh ada anggapan monarki, istilah itu dalam konteks simbolisasi kultural Jawa. Monarki itu jelas bukan monarki politik”.

10. Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua PP Muhammadiyah

"Yogyakarta ini monarki yang bagaimana? Sultan ini kan kekuasaanya hanya di keraton. Kalau sebagai gubernur kan dia juga perwakilan pemerintah pusat yang juga harus tunduk dengan pemerintah pusat. Jadi monarkinya di mana?"

"Itu kan tidak produktif. Nggak penting itu,"

11. Hasan B. M., Warga Lombok, NTB, Alumnus Univ. Sanata Dharma, Yogyakarta

“Penyataan SBY tersebut semakin ”keruh” oleh pernyataan dari orang-orang dekat SBY seperti Gamawan Fauzi (Mendagri), Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat), Velix Vernando Wanggai (Staf Ahli Presiden Bidang Otonomi Daerah), tidak saja karena mereka tidak berani mengungkapkan bahwa telah terjadi kesalahan fatal dalam pernyataan SBY seperti yang disebutkan tetapi karena selama ini mereka sudah terbiasa dengan jargon politik, pernyataan-pernyataan abstrak yang mementingkan artikulasi (yang penting lancar) daripada substansi”.

[caption id="attachment_78335" align="alignnone" width="300" caption="Parlemen Jalanan Warga Yogya"]

12924559872047262181
12924559872047262181
[/caption] 12. Novri Susan,Pengajar Sosiologi FISIP Unair

“Makna wacana SBY terhadap keistimewaan DIY sudah jelas, yaitu menolak mekanisme penetapan gubernur DIY dan menstigma proses itu sebagai monarki”.

“Pada kasus DIY, negara harus menggunakan konsep demokrasi keindonesiaan dengan mengakomodasi identitas dan sistem hidup lokal yang telah hidup lebih tua dari negara Indonesia sendiri. Terlebih, mekanisme lokal di DIY secara umum tak bertolak belakang dari nilai-nilai universal demokrasi”.

13. Radhar Panca Buana, Budayawan – Pengajar UI

“Lalu UU No 3/1950 menebalkan posisi itu dengan pernyataan konstitusional tentang DIY bukanlah sebuah monarki (konstitusional) dan ia adalah sebuah daerah istimewa setingkat provinsi, bukan provinsi, di mana hukum dan politiknya berbeda terutama dalam hal kepala daerah serta wakil kepala daerah”.

“Kenegarawanan yang demokratis Sultan saat itu telah membiarkan dirinya berdiri dan duduk setara tak hanya dengan kepala keresidenan (PA VIII), tetapi juga dengan pejabat kiriman pemerintah pusat, bahkan dengan tiga bupati yang tidak lain adalah bagian dari kawulanya”.

“Tentu terasa menggelikan—dan tentu menghibur pikiran karikatural kita—jika ada pemimpin baru yang menafikan keistimewaan jiwa besar di balik sikap demokratis ini”.

14. Irman Putra Sidin, Pengamat Tata Negara

"Seharusnya Presiden bisa mengambil sikap yang tidak perlu terkesan frontal dengan hasil rapat kabinet kemarin. Pernyataan awalnya saya kira bisa dipahami, tapi hasil rapat kabinet kemarin malah membuat situasi yang harusnya sudah makin reda tapi justru semakin panjang,"

15. Charles Simabura, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas,

“Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cenderung memahami dan menganut demokrasi prosedural, dan kurang memahami demokrasi substansial”.

16. Budiarto Shambazy, Wartawan Senior KOMPAS

“Celakalah mereka yang tak belajar sejarah. Seperti kata Bung Karno, ”Jas Merah” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Namun, bagi sebagian orang, singkatan Jas Merah rupanya telah berubah jadi ”Sejarah Saya Memang Parah”.

“Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menyatakan wilayah mereka bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebulan setelah proklamasi. Entah berapa banyak aset kedua kerajaan kecil itu disumbangkan untuk perjuangan”.

“Tak heran bila ”Serangan Umum” yang diprakarsai Hamengku Buwono IX selama enam jam di Yogyakarta ikut mendukung upaya pengakuan kedaulatan wilayah di mata dunia.Jangankan berjuang, Hamengku Buwono IX bahkan merelakan sebagian tanah untuk Universitas Gadjah Mada”.

17. Anis Matta, Wakil Ketua DPR

“Ketidakpatuhan pemerintah terhadap janji itu akan menggerus wibawa pemerintah. Apalagi, sejak awal hampir semua fraksi di DPR menolak mekanisme pemilihan gubernur di Yogyakarta. PKS setuju penetapan. Semua fraksi, kecuali Partai Demokrat, sudah menolak rencana pemerintah mengusulkan pemilihan,"

18. Daoed Joesoef, Cendekiawan, Mantan Menteri Pendidikan

“Orang sedang berkuasa hendaknya jangan melupakan sejarah. Sikap ini pasti membuat sendi dasar pembentukan bangsa menjadi semakin rapuh”.

[caption id="attachment_78334" align="alignnone" width="300" caption="Aspirasi warga Yogya"]

12924558911798279063
12924558911798279063
[/caption] 19. Ribuan Warga Yogya Turun ke Jalan Mendukung Penetapan.

Ini adalah bukti nyata suara nurani masyarakat DIY dan perlawanan sesungguhnya kepada Pemerintah Pusat pimpinan Presiden SBY. Pada hari Senin 13 Desember 2010, bertepatan dengan sidang paripurna DPRD DIY, alam semesta DIY sudah sepakat dan bulat mendukung sepenuhnya Kesultanan DIY dan mempertahankan opsi penetapan. Hidup penetapan!

20. Jusuf Kalla, Ketua Umum PMI

“Sultan itu gaya hidupnya demokratis sekali. Jadi jangan katakan hanya pilkada itu yang demokratis. Cara bekerja dan memerintah tetap demokratis di keraton,”

21. Kompasianer Mendukung Status DIY – Penetapan

Anda tidak percaya? Tolong buktikan jika ada artikel dari kompasianer yang mendukung pernyataan Pemerintah Pusat terkait monarki Kesultanan DIY, ada? Apakah ada artikel yang mendukung opsi pemilihan langsung melalui sidang DPRD atau pilkadal? Tidak ada! Kompasianer mampu berpikir, menulis, berkomentar, berdiskusi secara rasional dan menyerap apa yang sesungguhnya terjadi. Siapa yang monarki? Istana Merdeka atau Istana Nyayogyakarto Hadiningrat? Siapa yang demokratis? Pemerintah Pusat atau Kesultanan DIY? Semua kompasianer mendukung Kesultanan dan masyarakat DIY, kecuali kompasianer Bernandang Delta Bvlgari & Felix yang memilih bungkam dan menyembunyikan diri dari hiruk-pikuk komentaria soal monarki Yogya di Kompasiana.

Pemerintah Pusat Kalah T.K.O Secara Demokrasi

Rupanya arogansi dan gengsi berkuasa tetap membuat Pemerintah Pusat alias Kubu SBY bersikap tidak ada toleransi atas RUUK DIY, tetap bersikap memaksakan metode Pemilihan Langsung. Sampai tulisan ini dirampungkan, tidak ada tanda-tanda kearifan dan kelembutan dari singgasana Pemerintah Pust, memaksakan opsi penetapan. Nasi sudah menjadi bubur tapi belum terlambat jika sadar dan "bertaubat", faktanya sekarang adalah “perlawanan” dari masyarakat luas khususnya masyarakat DIYs yang merontokkan wibawa dan penghormatan kepada Pemerintah Pusat. Apa yang “engkau” dapatkan wahai para abdi rakyat yang terhormat? Pemerintah Pusat sudah kedodoran menghadapi demokrasi sebenarnya, demokrasi dari “alam semesta” Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hidup Penetapan!

Hai Kompasiana, Penetapan atau Pemilihan?

Salam Kompasiana

Referensi data dan gambar:

http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/1075/2/ruuk%20diy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun