Kita bersemangat karena berharap. Begitulah kita hidup sehari-hari, menjalani hari dengan harapan masing-masing.
Ada yang bekerja tak kenal lelah, karena berharap upah. Ada yang menjalani kesendirian dengan riang, karena berharap suatu hari ada pertemuan.
Harapan juga membentuk daya tahan. Ada yang bertahan dengan rasa sakit karena berharap akan datang kesembuhan. Bahkan ketika kesembuhan itu terasa mustahil, ada harapan kesakitan-kesakitan itu adalah penggugur dosa.
Bagi orang religius, agama memang pemberi harapan yang melebihi batas-batas fisik materi. Rasa-rasanya, surga adalah harapan tertinggi umat beragama. Simbol segala jawaban atas segala impian akan kenikmatan dan kebahagiaan.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya." (QS. Al Kahfi: 107-108)
 Jadi, harapan itu adalah energi yang memotivasi. Bekerjalah dengan keras, semua akan berbalas. Begitu matematika Tuhan.
Dalam matematika manusia, harapan selalu diukur dengan kenyataan. Jika harapan sesuai atau melebihi kenyataan, orang akan puas dan bahagia. Tapi jika sebaliknya, orang akan kecewa.
Karena itulah, orang bijak selalu membuat harapan minimal kepada orang lain. Atau bahkan tidak berharap apa-apa lagi.
Sumber ketidakbahagiaan memang harapan pada manusia. Ada yang berharap pujian dari bos, eh ternyata atasannya itu punya penilaian berbeda. Ada yang berharap popularitas, kenyataannya orang lain minim apresiasi. Ada yang berharap pasangannya romantis, ternyata si doi miskin hati.
Begitu juga dengan segala keadaan yang mungkin terjadi, harapan minimal akan lebih membahagiakan. Saat hujan datang saat jalan-jalan misalnya, terasa biasa saja, ketika sejak awal kita tak berharap cuaca tak harus cerah saat itu. Kalau kenyataannya matahari bersinar indah, kebahagiaan terasa lebih.
Kepada Tuhan kita berharap maksimal. Kepada manusia, kita berharap minimal