Mohon tunggu...
Edi Santoso
Edi Santoso Mohon Tunggu... Dosen - terus belajar pada guru kehidupan

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siapa Beruntung?

12 Maret 2024   15:04 Diperbarui: 12 Maret 2024   20:52 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Untung dan rugi, apa ukurannya? Bagi pedagang, ukuran untung---tentu saja, selisih antara modal dan pendapatan kotor. Sesuatu yang kita peroleh. Material.

Ukuran serupa kita gunakan ketika menilai keberuntungan seseorang. Dia beruntung, bisa masuk sebagai pegawai di BUMN bonafid itu. Dia beruntung, punya istri yang sangat cantik. Dia beruntung, anak-anaknya jadi orang sukses semua.

Ukurannya tak selalu material sih. Keberuntungan karena selamat dari musibah, misalnya. Kamu beruntung, hanya menderita luka-luka ringan dalam kecelakaan itu. Atau, beruntung karena keberadaan orang baik di sekitar kita. Kamu beruntung, punya pasangan yang selalu mengerti masalahmu.

Keberuntungan adalah penilaian kita atas capaian atau kondisi yang melekat pada orang lain. Sesuatu yang sebagiannya merupakan anugrah, given.

Ketika Qorun memamerkan hartanya, orang terkesima. Mereka pun menganggap betapa beruntungnya Qorun. Itulah yang dilukiskan Al-Qur'an

''Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: ''Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.'' (QS 28:79).

Setelah Qorun binasa dan tenggelam bersama hartanya, apakah orang tetap menganggap Qorun beruntung? Kisah serupa mungkin bisa kite terapkan ke kasus Sambo. Siapa yang tak iri dengan karir dan jabatannya waktu itu. Tapi setelah dia mendekam di penjara, adakah yang mau bertukar nasib dengannya?

Apa yang semua kita anggap sebagai keberuntungan bisa jadi adalah pintu kebinasaan di kemudian hari. Tak ada yang tahu bagaimana jalannya hidup kemudian.

Jika hidup itu sebuah rentang waktu, kita memberikan penilaian untung rugi seseorang pada satu titiknya. Dan tak ada yang tahu kesudahannya. Masih berapa panjang tentang waktu hidupanya? Apa yang terjadi pada titik-titik berikutnya?

Ada orang yang mencapai puncak popularitas. Orang pun berdecak kagum padanya. Betapa beruntungnya. Esoknya, orang itu tiba-tiba meninggal.

Ada orang yang beriman, bahkan sempat menjadi tokoh agama, eh suatu saat kemudian murtad. Ada bajingan, sampah Masyarakat, suatu saat kemudian menjadi hamba yang taat. Fluktuasi hidayah tak ada yang tahu.

Kalau mau menilai orang secara komprehensif, memang haru menunggu sampai titik akhir. Apakah orang itu mengakhiri keberadaannya di dunia dengan kebaikan (husnul khatimah). Itulah kenapa gelar pahlawan hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah tiada. Penilaiannya sudah paripurna.

Selagi kita belum tahu titik akhir trajectory hidup seseorang, tak akan bisa menilai keberuntungannya. Tapi, daripada menilai dan menakar keberungtungan orang lain, mending kita berharap keberuntungan diri sendiri. Semoga kita mendapat akhir yang terbaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun