Mohon tunggu...
EDROL
EDROL Mohon Tunggu... Administrasi - Petualang Kehidupan Yang Suka Menulis dan Motret

Penulis Lepas, Fotografer Amatir, Petualang Alam Bebas, Enjiner Mesin, Praktisi Asuransi. Cita-cita: #Papi Inspiratif# web:https://edrolnapitupulu.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebebasan (Belenggu Partai) Seorang Ahok, Cermin Kemerdekaan Independen (Individual)

13 Maret 2016   09:04 Diperbarui: 13 Maret 2016   11:25 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dukungan Teman Ahok antara suratan dan kerikil tajam (foto pribadi)"][/caption]Pagi ini, Acong (35) membaca artikel di surat kabar yang memuat ulasan tim ilmuwan tentang perilaku otak manusia. Menurut artikel tersebut sudah menjadi tabiat manusia (baca sifat otak manusia) yakni mencari nikmat, menghindari sengsara. Saat asyik membaca artikel, mata Acong secara tak sengaja tertarik dengan artikel janji setia seorang politikus .

Menarik menyimak kata capek dengan partai politik yang dilontarkannya ke media. Lalu Acong segera mengkaitkannya dengan artikel sebelah dan bertanya-tanya dalam hati apakah ini maksudnya Capek yang mencari nikmat atau Capek yang menghindari sengsara?

Kata sengsara dan nikmat sudah bukan lagi kata-kata asing di telinga kita. Apalagi mungkin sudah banyak dari pembaca entah dari karya sastra, film televisi, kolom surat kabar atau tulisan di blog.

Dulu pada tahun 1928, pernah terbit novel  “Sengsara Membawa Nikmat” karya Sutan Sati yang saking populernya akhirnya diangkat ke layar televisi. Kisah hidup sengsara Midun yang baik hati dan kerap dipenjarakan karena perbuatan baiknya akhirnya dapt hidup bahagia setelah berhasil di perantauan dan kembali ke kampung halaman.

Bagaimana pula kalau jadinya kebalikan “Nikmat Membawa Sengsara”, karya seperti ini banyak dijumpai di kolom surat kabar  Nah Ini Dia- Nikmat Membawa Sengsara  atau judul artikel cerita panas di blog. Mungkin kalau boleh saya refleksikan hal ini samakan dengan akhir perjalanan perjuangan anggota dewan sekaligus politikus dan pengusaha yang akrab dengan “Ngeri-ngeri Sedap” menjadi terpidana korupsi.

Sepertinya cukup rumit perjalanan kenikmatan yang bertukar nasib menjadi sengsara ataupun sebailknya. Bagaimana supaya sedapat mungkin menghindari sengsara sebanyak-banyaknya dan kenikmatan menyusul kemudian?

Ada tidak ya yang seperti itu, kok tekanan nadanya mirip seperti peribahasa “bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”. Mirip memang tapi jauh sekali maknanya.

Sengsara pastinya menimbulkan kesusahan hati atau kecapekan hati juga pikiran. Kecapekan seorang Ahok pada kengawuran kerja partai politiknya membuat dia hengkang dari partai pengusungnya.

Kecapekan seorang Ahok pada sekutu politiknya mendesak dia memilih jalan kebebasan individual (independen)

Kecapekan seorang Ahok pada teman kerjanya di partai maupun parlemen menguatkan dia menerima pinangan Teman Ahok.

Nikmatkah Ahok setelah merdeka dari partai politik dan bebas secara individual (independen)?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun