Fenomena yang terjadi hari ini di Indonesia terkait ujaran kebencian, kekerasan dan bom bunuh diri anak-anak  merupakan peringatan "Siaga I" terhadap kepunahan kita sebagai bangsa yang adiluhung dengan kesaktian Pancasila dan kedigdayaan Bhinneka Tunggal Ika.
Betapa tidak, sepertinya kini kedua warisan adiluhung nenek moyang dan pendiri bangsa kita adalah perisai atau pedoman kehidupan sekaligus senjata ampuh kita menghindari kepunahan sebagai bangsa Indonesia sudah pudar penghayatan dan pengamalannya.
Begitu mudahnya ideologi negeri asing meracuni dan merangsek serta memporak-porandakan tatanan hidup sosial kita hari-hari ini merupakan musibah yang perlu evaluasi kita bersama.
Belum reda pertunjukan kekerasan bahasa para tokoh publik dan politik yang tersebar di berbagai media baik televisi maupun daring, kekerasan para narapidana terhadap alat negara, kini muncul fenomena bom bunuh diri oleh anak-anak berumur 9 dan 12 tahun, kali pertama di Indonesia demikian ujar Kapolri Jendral Tito Karnavian pada konferensi pers yang dilansir portal berita detik.com (14/05/2018) terkait bom Surabaya, Jawa Timur yang terjadi pada Minggu, 13 Mei 2018 di tiga lokasi gereja sekitar pukul 07.30 WIB.
Mungkin suatu faktor kebetulan, pada Minggu pagi, 13 Mei 2018 saya bersama istri dan anak lelaki kami sedang berada di daerah seolah-olah Jawa Timur tepatnya Anjungan Jawa Timur, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.
Kami beraktivitas bersama dengan keluarga besar Taman Kanak- Kanak (TK) Strada Indriyasana, Pejaten mulai dari guru-guru, pengajar ekstra-kurikuler, anak-anak dari PlayGroup, TK A dan TK B beserta orang tuanya.
Kami menyelenggarakan pentas seni sekaligus pelepasan anak-anak TK B ke SD. Sesaat setelah menikmati hiburan tarian daerah dari anak-anak TK didampingi guru mulai dari Tarian Alusia, Ampar-ampar Pisang, Ondel-ondel, Sipatokaan, Janger Bali, Flores-NTT, Rek Ayo Rek hingga Papua, tak disangka-sangka tersiar kabar melalui group whatsapp dan sosial media bahwa telah terjadi serangan bom terhadap gereja di Surabaya.
Bak hantaman petir di siang bolong, kabar duka tersebut langsung merangsek ke batin kami orang tua dan seluruh hadirin begitu informasi tersebut juga secara jelas diumumkan oleh pembawa acara. Kami berduka dan prihatin atas peristiwa ini, ditambah lagi ada keterlibatan anak-anak yang kami dengar.Â
Distorsi Nilai Sakral Akan Jihad, Akar Kejahatan Terorisme
Titik kritisnya sudah bukan lagi pada tataran kelompok golongan atau komunitas, tetapi sudah pada dasar sistem bermasyarakat dan bernegara yakni satu keluarga mulai dari ayah, ibu, dan anak-anaknya melakukan tindakan anarkis yakni memperlengkapi masing-masing dengan bom pinggang " Mother of Satan" dan melancarkan serangan bunuh diri di tiga gereja di Surabaya. Sebagai orang tua yakni ayah, sangat syok atas temuan pihak kepolisian ini. Betapa rapuhnya keluarga Indonesia bila tidak ada tindakan nyata dari dalam diri kita sendiri, keluarga kita sendiri.Â
Berdasarkan temuan peneliti dari berbagai negara yang coba mengungkap akar dari terorisme, sebagaimana saya kutip dari laman Newscientist (16/08/2017), mengapa orang-orang normal bisa menjadi orang-orang extremist menyatakan bahwa tidak hanya karena fanatisme agama atau kebencian yang menyebabkan mereka mampu membunuh orang tak berdosa tapi  pada pegangan hidup individual yang melebur dalam satu kelompok yang mana mereka bersama rela mati untuk "nilai-nilai sakral" yang mereka pahami sebagai jihad.