Maka terjadi penurunan ketebalan gletser sebesar 38 meter dan dapat diartikan juga Puncak Jaya pada tahun 1936 berada di ketinggian 5000 mdpl (Puncak 5000) pada zaman sebagian besar belahan bumi mulai hangat dimulai dari kutub Utara (Medieval Warm Period). Meskipun berdasarkan catatan sejarah Romawi, cuaca hangat sudah menginvasi mulai dari Yunani, Eropa hingga Atlantik Utara pada tahun 250 SM hingga 400M, yang kini kita kenal dengan pemanasan global (Global Warming)
Luasan gletser di pegunungan Jaya Wijaya tercatat pada tahun 2002 adalah seluas 1.17 kilometer persegi mulai dari ketinggian 4750 mdpl membentang pada dua sisi yaitu yang pertama berada di sisi timur laut dari menara Puncak Jaya sepanjang 2,5 kilometer dan kedua berada di bagian timur Dinding Selimut Utara (Northwall Firn) sepanjang 1,8 kilometer dengan lebar 0,8 kilometer.
Berdasarkan dokumentasi citra satelit yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti Amerika  sejak tahun 1936 hingga tahun 2002, gletser pegunungan Jaya Wijaya secara cepat berkurang sebanyak 80 % dan dua pertiganya telah hilang sejak ekspedisi penelitian terakhir tahun 1970an.
Boleh jadi ini kali terakhir saya bisa melihat dua gumpalan salju tropis atau gletser di dua puncak gunung dari Pegunungan Jaya Wijaya pada jarak pandang puluhan kilometer saja dari ketinggian 4285 mdpl, spot bunaken . Nantinya kelak hanya jadi cerita melegenda di masa mendatang. Sebab nasibnya saat ini sudah di ambang kepunahan. Tragis dan hampir tidak dapat terselamatkan lagi.
Penelitian ahli paleoklimatologi  belum dapat mengungkapkan sejarah bentukan formasi glacier Jaya Wijaya terkait dengan samudera dan glacier lainnya karena bentukan alam sudah rusak sehingga boleh dikatakan kisahnya tergerus bersama batuan dan limpasan air ke lembah bumi Mimika, sebuah "missing link" dari kekerabatan antara pegunungan es purba, entah itu pegunungan Andes atau pegunungan Himalaya.
Secara teori empiris dapat diringkas, apa yang terjadi di satu gunung gletser berpengaruh pada gunung gletser lainnya pada garis bumi yang sama dan lautan atau samudera terdekat gunung tersebut saling berkaitan.
Sebagai contoh unik, berdasarkan penelitian geologi Amerika menemukan bila terjadi musim hujan di Puncak Jaya, Pegunungan Jaya Wijaya maka di garis bumi yang sama (garis khatulistiwa) dan samudera yang sama (Samudera Pasifik) yakni  Pegunungan Nevado Hualcan, Peru akan mengalami kekeringan. Hal ini sedikit banyak mengungkap bagaimana samudera atau lautan mempengaruhi atmosfer atau mendorong perubahan iklim  atas daratan di belahan bumi lainnya.
Bumi memiliki komposisi cadangan persediaan air yaitu 97 % air laut dan 3 % air tawar. Sekitar tiga-perempat cadangan air tawar dalam bentuk es adalah sekitar 90 % berada di Antartika dan yang lainnya adalah berbentuk gletser di pegunungan. Ini artinya gletser merupakan salah satu sumber terbesar air tawar di muka bumi di seluruh dunia.
Menurut catatan penelitian dari tahun 1982 hingga tahun 2004 Daerah Aliran Sungai (DAS) di Teluk Alaska, Â keluaran air tawar dari gletser memberikan sumbangsih besar bagi kesetimbangan persediaan air di Teluk Alaska yakni dari total debit tahunan sekitar 870 kilometer kubik pertahun, sekitar 47 % berasal dari gletser dan lapangan es atau kurang lebih 371 kilometer kubik air tawar. Total gletser di Teluk Alaska dari tujuh wilayah geografisnya mencapai 72.279 kilometer persegi menghasilkan limpasan air tawar ke DAS sebanyak 320 kilometer kubik per tahun. (lihat sumber data: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1029/2010GL042385/full).