Ini diperkuat lagi dengan data riset oleh KPBB yang dilansir oleh Ahmad Syariffudin, kondisi udara di Jakarta sejak 2012 lalu jauh melampaui ambang batas hingga mencapai 150 mikrogram per meter kubik padahal Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yang dikatakan indikator kualitas udara bersih jika partikel debu maksimal 60 mikrogram per meter kubik. Tambahan data lagi darinya yakni penelitian dari Kementerian Lingkungan Hidup pada 2010 mencatat 57,8 persen atau setara dengan sekitar lima juta penduduk Indonesia mengalami penyakit akibat polusi udara. Cara paling mudah menguji kalau polusi udara di lokasi tertentu sudah sangat parah bisa diketahui dari masyarakat yang menggunakan transportasi umum atau sedang berjalan kaki di pusat kota, yang mana mudah mencium bau bensin menempel pada pakaian dan kulit mereka.
Udara kotor terkait erat dengan kualitas hidup warga Jakarta sehingga warga tidak rentan terkena penyakit dan harus antri dalam pelayanan kesehatan di puskesmas dan RS mitra BPJS.
Menurut Dr Budi Haryanto, SKM, MSPH, MSC, Peneliti Perubahan Iklim dan Kesehatan Lingkungan dari Universitas Indonesia, dari studi yang dilakukannya di tahun 2010 menempatkan gangguan pernapasan sebagai penyakit yang paling banyak diderita oleh warga Jakarta. Tak tanggung-tanggung, hampir 60 persen warga Jakarta mengidap gangguan pernapasan akibat polusi udara.
 "Yang paling tinggi itu Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) 25,5 persen. Kedua adalah penyakit jantung koroner kurang lebih 16 persen. Dan ketiga itu asma 12,6. Sisanya terbagi menjadi pneumonia dan lain-lainnya, yang kalau ditotal jumlahnya 57,8 persen," ungkapnya.
Promosi Obat Pilkada DKI 2017
Pilkada DKI 2017 masih promosi obat yang sama hanya beda penjualnya. Seperti pilkada sebelumnya, kedua penyakit kritis masih menjadi isu marjinal yang memang sulit dan kompleks obatnya karena sama sekali terus dibiarkan berkembang menjadi bom waktu.
Tidak satupun yang katanya pemimpin Jakarta dan calon pemimpin Jakarta memberikan perhatian khusus untuk penyakit kritis ini. Saya paham bahwa sudah banyak penelitian bahkan media nasional serta internasional yang menyoroti penyakit ini, tapi apa mau dikata hanya sekedar angin lalu. Jadi tak aneh bila dalam pilkada, tidak ada promosi obat atau rencana operasi bedah/ penanganan kedua penyakit kritis tersebut diaatas.
Bayangkan dengan biaya setahun untuk konsumsi air minum galonan sebesar Rp 14,5 Trilyun, nilai ini lebih besar daripada mengakusisi lahan hutan resapan air dengan akses tertutup untuk jangka waktu 100 tahun seluar ribuan hektare dan membangun penamupungan air mulai resapan air bersih  waduk dan bendungan untuk memproses air keran siap minum seperti di Melbourne yang hanya menelan biaya Rp 1,7 Trilyun Rupaih, mampu menyimpan air  13,4 Juta Megaliter. Investasi air minum memang besar namun kan kembali ke komunitas warga dan meningkatkan kualitas hidup dan ekonomi.
Pembangunan bangunan pencakar langit dan perumahan-perumahan mewah menambah beban bagi persediaan dan resapan air kota Jakarta, tak heran wilayah pemukiman yang berdekatan dengan proyek pembangunan bangunan pencakar langit dan perumahan mewah menjadi mudah tergenang banjir, yang secara historis belum pernah banjir atau kini genangan bertambah tinggi. Hal yang lumrah, kerusakan ekologis sudah mengangga depan mata. Sudah krisis air bersih terkena banjir pula.
Guna menciptakan udara bersih Jakarta, mau tidak mau volume kendaraan  pribadi harus segera dibatasi bukan hanya ditengah kota namun seyogyanya kendaraan pribadi yang masuk dari akses jalan pingggiran kota Jakarta sudah saatnya dibatasi jumlah masuknya pada saat jam sibuk pagi hari da sore hari. Pembangunan jalan layang dan jalan tol yang berfungsi mengurai kemacetan bukan menjadi solusi efektif karena volume kendaraan yang masuk wilayah Ibukota bagaikan raksasa yang berjalan di titian jembatan goyang.  Selama vplume kendaraan tidak dibatasi maka kemacetan transportasi di jalanan akan selalu menghasilkan polusi udara yang sudah melewati ambang batas normal.
Pada akhirnya bila tidak segera diatasi penyakit kritis ini maka ibukota negara Jakarta hanya akan menampilkan kota metropolitan yang terbelakang dan sakit bukan maju seperti yang didengungkan selama ini.
Sudah sehatkah engkau wahai calon Pemimpin Jakarta?