[caption caption="Capture Aplikasi Taksi dan Ojek (dok.pribadi)"][/caption]Kejadian anarkis kaum marjinal yakni supir taksi argometer terhadap sesama supir dan pekerja transportasi di Ibukota Jakarta adalah dampak kegagalan sistemik dari regulasi pemerintah yang belum klop atau integrasi antara bisnis aplikasi dan bisnis transportasi.
Saya tidak akan mengulas perihal perbedaan tarif atau argo taksi berbendera perusahaan transportasi dengan taksi berpanji perusahaan aplikasi. Jelasnya perusahaan transportasi adalah perusahaan dengan kapital yang jauh lebih kuat ketimbang perusahaan aplikasi yang masih start-up di Indonesia. Artinya asset dan keuntungan perusahaan transportasi jauh lebih besar ketimbang pewirausaha aplikasi. Namun mirisnya, dari beberapa obrolan saya saat menggunakan kedua penyedia jasa transportasi tersebut terungkap bahwa pendapatan sopir taksi perusahaan aplikasi sepertinya lebih tebal daripada sopir taksi perusahaan transportasi.
Kedua model perusahaan sama-sama menggunakan aplikasi online untuk menjemput konsumen mereka dengan rating standart 3+ namun kehandalan promosi dan server menempatkan perusahaan aplikasi menjadi kesayangan pengguna jasa transportasi Jakarta, terlihat dari jumlah pengunduh dan yang memberikan bintang.
Fenomena kantong tebal dan kemudahan memperoleh konsumen menjadi keunggulan perusahaan aplikasi ketimbang perusahaan transportasi. Mau tidak mau terjadilah hukum rimba di industri jasa tranportasi, yang mudah dan murah menjadi pemenang sedangkan yang kaku dan cenderung mahal tarifnya mulai kehilangan pelanggan. Ujung-ujungnya banyak sopir perusahaan transportasi yang gagal memenuhi target setoran sekitar 350 ribu hingga 450 ribu rupiah per hari dan pulang ke rumah dengan sisa setelah komisi atau upah pas-pasan cukup makan sehari dan lebih banyak gagal setor atau “nombok”.
Sebenarnya sopir perusahaan aplikasi memang berhasil mendulang emas saat tahun lalu bahkan ada yang berani mengambil kredit mobil baru dengan penghasilan bersih sekitar 25 juta rupiah per bulan. Namun saat ini, kebijakan aturan perusahaan aplikasi yang menuntut target per minggu dan gonta-ganti promo tiap bulan akhirnya membuat gerah sopir perusahaan aplikasi. Ujung-ujungnya banyak yang mengambil mobil baru sekarang terpaksa berhenti mengangsur kredit karena persaingan dan jumlah penghasilan yang makin menurun.
Artinya kalau seperti ini, baik perusahaan transportasi maupun perusahaan aplikasi yang bermitra dengan unit usaha rental mobil maupun pangkalan ojek bermuara pada satu pulau yang namanya sebesar-besarnya keuntungan pemilik modal dan pengelola usaha. Karyawan maupun mitra usaha seperti sopir hanya menjadi sapi perahan perusahaan dan bulan-bulanan adu domba oleh pemegang modal. Perusahaan sangat jarang membela kesejahteraan karyawan atau mitra kerja, sudah pasti pengelola perusahaan transportasi dan perusahaan aplikasi akan mengganggap kerusuhan atau aksi anarkis adalah murni dari sopir atau pekerja paling bawah. Perusahaan transportasi menyangkal keterlibatan dan tanggung jawab atas aksi anarkis hari ini.
[caption caption="Aksi anarkis sopir taksi (sumber: arie basuki-merdeka.com)"]
Prihatin.
Kuningan, 22 Maret 2016