Riuh jiwa dalam tabir-tabir peluhÂ
Berlalu ia dengan senyuman yang runtuhÂ
Dimanakah dia harus bertumbuhÂ
lalu menjadi pemanggul waktuÂ
yang menengarai matahariÂ
agar terbit berulang kaliÂ
memberi kecupan hangatÂ
untuk tubuh yang meringkihÂ
dalam dingin menusuk yang pekatÂ
Menunggu pelukan hangatÂ
dan senyuman sang dewi yang tak bersekat
Namun sang waktu terjatuh
berceceran dari bahunya
Dia pungut satu persatu
dalam tangisan dan doa seribu satuÂ
Dia tersungkur ke bumi
Tak ada tanah basah yang dibajak
Tak ada beras yang bisa dibawa pulang
Yang ada kepingan bulir-bulir kosong
Juga pedih yang menusuk di ulu hati
Namun berjiwa besarlah ia
Bersemedi seribu masa
meminjam waktu kepada sang dewa
meski harus dikutuk ia berwajah rahwanaÂ
Waktunya mencari pacul
dan terus memangggul
memanggul
memanggul
memanggul lelah yang tertatih
tiada merintih
hanya menyapih letih
lalu erdamai dengan masa lalu kelabu
tentang waktu yang tercecer disetiap ketukan palu
Senayan, 22 Juli 2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI