Gerakan Reformasi Birokrasi merupakan agenda pemerintahan yang bertujuan untuk penciptaan pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan tidak korup. Pada dasarnya konsep good governance secara sederhana merupakan proses pembuatan keputusan dalam lingkungan birokrasi dan pemerintahan dalam melayani masyarakat. Meskipun perjalanannya tidak selalu mulus. Pelayanan pemerintah memang belum optimal dan prima, karena masih membutuhkan proses pelayanan yang baik, Untuk itu kinerja pemerintah untuk melayani publik merupakan memerlukan langkah-langkah strategis dan berkesinambungan sehingga terwujud masyarakat yang tertib, sejahtera, adil dan makmur.
Era reformasi menunjukkan adanya tuntunan masyarakat yang sangat tinggi untuk mendapatkan layanan yang baik dan terbuka.Salah satu yang paling disorot adalah kinerja pemerintahan. Sehingga satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengimplementasikan reformasi birokrasi. Dalam hal ini leading agencynya adalah Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB) yang harus menjalankan fungsinya sebagai engine of bureaucreatic reform.
Birokrasi publik di Indonesia memiliki hierarki ketat dan panjang ditambah dengan budaya patrenialistik yang membuka celah, kondisi danfenomena asal bapak senang (ABS) dan sikap cari muka. Namun anehnya indikator ini masih sering dibawa dan dijadikan sebagai dasar penilaian promosi dan kenaikan karir berdarkan kedekatan (subjektif) bukan prestasi (objektif). Hal ini merupakan ciri struktur birokrasi weberian yang menghasilkan patologi birokrasi dan terkadang menjadi celah menjamurnya korupsi.
Lalu apakah Indonesia bisa berjalan meski tertatih dan pelan-pelan menuju implementasi meritokrasi sebagai bentuk pemerintahan atau administrasi di mana para pemimpin dipilih berdasarkan prestasi atau kemampuan mereka. Terdapat sedikit pemerintahan di dunia yang didasarkan pada ideologi ini. Contoh modern dari meritokrasi dapat ditemukan di Singapura dan Inggris. Kedua negara ini menunjukkan tingkat pelayanan publik yang baik dari pemerintahnya. Tentu saja ulasan ini merupakan opini pribadi karena setiap warga negara tentu harus berkontribusi dalam ide sebagai bentuk kepeduliaan yang kelak perubahan itu menuju masa depan negeri kita yang lebih baik.
Lalu kenapa sistem meritokrasi dalam mengukur kinerja pemerintahan bisa dijadikan pilihan? Karena kecapakan (merit) dan keterampilan (skill) dari seorang staf pemerintahan sangat dibutuhkan untuk membenahi berbagai kebutuhan masyarakat yang semakin dinamis. Hal ini juga secara langsung meningkatkan kepercayaaan masyarakat dan perekonomian bangsa. Dan negara dengan tingkat Government Index yang baik biasanya memiliki prospek bisnis dan investasi yang baik secara tidak langsung.
Salah satu upaya pelayanan publik yang mulai dibenahi seperti e-KTP, pengurusan perizinan one stop service, tax online. Dalam Hal ini PBB mengembangkan indeks pengembangan e-government (e-government development index-disingkat EGDI) sebagai dasar pemeringkatan negara-negara yang menjadi anggota PBB dalam mengukur kemauan dan kapasitas administrasi pemerintahan untuk menggunakan TIK untuk menyediakaan memberikan layanan publik. EGDI untuk edisi 2012 diukur berdasarkan tiga sub index yaitu online service index, telecommunictaion index, dan human capital index. Berdasarkan data government development index-t tahun 2003, Indonesia sebagai negara ASEAN masih menempati posisi tujuh dibawah Singapura, Malaysia, Brunei, Vietnam, Filipina, dan Thailand.
Sistem Merit, Kinerja Dihargai
Sistem meritokrasi memberikan kesempatan berusaha mencari orang yang memiliki kemampuan dan kualifikasi terbaiklah yang akan untuk menduduki suatu posisi dan memberikan penghargaan kepada mereka yang berprestasi. Menemukan orang yang memiliki kemampuan unggul dapat dilakukan melalui tes, melihat pengalaman, atau kombinasi dari berbagai penilaian ini. Namun kritikus mengatakan bahwa bentuk pemerintahan ini diskriminatif karena mungkin tidak akan memberikan kesempatan pada orang yang memiliki keterampilan tetapi tidak cukup cerdas atau tidak berkesempatan mendapatkan pendidikan tertentu. Sistem inilah yang mengkritik Weberian yang teorinya cendrung impersonalitas sehingga cenderung tidak melihat kecapakan (merit) dan keterampilan (skill) dari seorang staf pemerintahan. Karena atmosfer KKN tersebut sangat kental daripada profesionalisme.
Memang tidak ada reformasi tanpa resiko karena mengelola perubahan membutuhkan kapasitas untuk mengelola konflik dan mobilisasi dukungan terhadap perubahan. Skala perubahan yang akan dikanalkan harus sesuai dengan kapasiatas dalam mengelola konflik dan mobilisasi dukungan pemangku kepantingan. Perbaikan kualitas pelayanan dimulai dari perubahan kelembagaan, rightsizing, redefine visi misi institusi dan performance review akan mampu menjadi cermin yang baik untuk melihat seberapa jauh suatu institusi dapat berjalan.
Pada akhirnya setiap institusi harus mampu mengumpulkan dan mengelola data dasar berbasis indikator kinerja kunci (IKK) yang dikembangkannya sehingga mampu mengukur sejauh mana manajemen perubahan yang bersifat sistematis. Wahai birokrat muda maju terus membangun bangsa.
Tulisan opini pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H