Mohon tunggu...
Edria Sandika
Edria Sandika Mohon Tunggu... -

full time lecturer, all time learner, pop culture enthusiast, figure collector, gunpla modeller, video gamer

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kau yang Berasal dari Korea

2 Mei 2014   16:35 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:57 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sinetron berjudul "Kau Yang Berasal Dari Bintang" saat ini tengah menuai kontroversi. Sinetron buatan Sinemart ini dituding sangat mirip dengan drama asal Korea buatan SBS berjudul Byeoreseo on geudae (별에서 온 그대) atau lebih populer dengan nama You Who Came from the Star atau My Love from the Star. Kontroversi ini sudah dimuat di berbagai media baik lokal maupun internasional hingga sampai ke Korea sana. [caption id="attachment_305437" align="aligncenter" width="300" caption="nonews.com"][/caption]

Saya bukan penggemar sinetron, malah selalu menghindarinya. Saya bukan pula penggemar drama Korea karena selera saya memang tidak terlalu menggemari kisah-kisah percintaan seperti itu. Tapi fenomena ini sangat menarik karena saya sudah menonton ke seluruh 21 episode drama ini sekaligus berhadapan dengan penayangan sinetron lokal yang ironisnya berjudul sama. Respon saya melihat penayangan iklan dan sampai saat saya menulis ini, sudah 3 episode, saya benar-benar menertawakan kemiskinan kreativitas yang dimiliki si pembuat sinetron. Bagi saya, respon pertama dan paling terbaik melihat sinetron ini adalah dengan menertawakannya. Saya perlu menerima kenyataan bahwa ini adalah praktek plagiarisme paling memalukan dari yang pernah ada di sinetron-sinetron Indonesia. Ada klaim dari fanbase Nikita Willy yang mengatakan kalau sinetron ini sudah membeli lisensi drama aslinya (bisa disimak di tautan ini). Namun saat saya menonton sinetronnya, tidak satupun saya menemukan semacam klaim hak cipta (copyright claim) adaptasi yang dimaksud baik di bagian pembuka maupun penutup sinetron tersebut.Dan pada akhirnya SBS sendiri memberi konfirmasi (bisa disimak di tautan ini dan ini) bahwa sinetron Kau Yang Berasal Dari Bintang adalah hasil jiplakan bukan adaptasi resmi. Bicara soal adaptasi, salah satu contoh yang bisa saya tampilkan adalah antara Super Sentai dengan Power Rangers. Di setiap bagian akhir acara selalu dimunculkan klaim adaptasi tersebut. [caption id="attachment_305426" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pri"]

13989946851847133070
13989946851847133070
[/caption]

[caption id="attachment_305427" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pri"]

1398994809683476848
1398994809683476848
[/caption]

Klaim adaptasi itu penting sehingga tidak dianggap "plagiat" atau menjiplak. Pada kasus Power Rangers sendiri, justru pihak Toei selaku pemilik Super Sentai turut serta membantu produksi versi adaptasinya. Di Indonesia, batas adaptasi dan menjiplak sangat kabur. Beberapa memang saya temukan ada klaim seperti yang di atas, tapi kebanyakan justru tidak ada sama sekali. Sudah banyak sinetron-sinetron yang diproduksi memiliki kesamaan atau kemiripan dengan produksi-produksi dari luar negeri entah itu dari sisi plot, karakterisasi, setingan, maupun tema yang diusungnya. Perbedaan mencolok hanya pada penyesuaian latar atau pelokalan setingan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan penonton lokal. Daftar sinetron-sinetron adaptasi bisa dilihat di halaman Wikipedia Daftar Adaptasi Sinetron. Kembali ke sinetron Kau Yang Berasal dari Bintang, ketiadaan klaim hak cipta tersebut membuat saya bertanya, ini langkah berani, modal nekat, atau bagaimana? [caption id="" align="aligncenter" width="225" caption="Dok. Pri"]

[/caption] Saya sendiri sudah melakukan sedikit eksperimen terhadap drama You Who Came from the Star episode 2 dengan sinetron Kau Yang Berasal dari Bintang juga pada episode 2. Yang saya temukan membuat saya makin tertawa. Sepertinya sinetron ini tidak memerlukan penulis skenario. Tinggal mengambil terjemahan yang ada lalu disalin saja untuk sinetron ini. Dialog yang dihadirkan sama persis tanpa perubahan sama sekali. Ini adalah fenomena yang ke sekian kalinya, tanpa rasa malu menjiplak karya yang sebenarnya baru beberapa bulan lalu tamat di negara asalnya. Tapi sepertinya bad publicity is good publicity tidak berlaku pada kasus ini. SBS sendiri setahu saya sangat protektif terhadap properti mereka. Terbukti dengan berita-berita yang beredar, mereka akan menempuh jalur hukum terhadap pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh Sinemart maupun RCTI selaku stasiun televisi yang menayangkan sinetron ini. Saya menganggap inilah bukti ke sekian kalinya betapa miskinnya kreativitas yang dimiliki pembuat sinetron tersebut. Serial televisi sejatinya tidak hanya sekedar menghibur tetapi setidaknya dapat memberi makna pada penontonnya. Tapi pemberian makna sinetron saat ini lebih ke pembodohan. Ini hanya satu dari banyak kasus-kasus bahwa hiburan berbentuk sinetron memang perlu dihindari. Kesalahan paling mencolok dari sinetron ini cukup banyak. Sinemart menjiplak drama yang saat ini mencapai tingkat popularitas sangat tinggi baik di Korea sendiri maupun di seluruh Asia (apalagi Indonesia). Saya sendiri meskipun tidak menyukai drama Korea-nya menganggap drama ini memang layak untuk diapresiasi. Plot ceritanya memakai formula drama Korea yang sama berulang-ulang kali. Cewek ketemu cowok, si cewek benci dengan si cowok, si cewek mem-friendzone cowok lainnya, si cewek dan si cowok selalu berinteraksi, akhirnya si cewek suka si cowok, si cowok juga suka si cewek, si cowok dan cewek sulit mengakui satu sama lain, lalu cowok dan cewek menghadapi rintangan, dan akhirnya si cowok dan si cewek menghadapi happy ending. Sangat generik dan sudah lama sejak zaman Pride and Prejudice-nya Jane Austen. Yang membedakan adalah fitur ceritanya yang mengetengahkan alien dengan kekuatan super. Hal inilah yang juga "ditiru" sinetronnya, dengan sama persis. Yang membedakannya hanya setingan antara Batavia dengan zaman Joseon atau antara Jakarta dengan Seoul. Saya sendiri makin tertawa mendengar respon istri saya (yang memang penggemar berat drama Korea) melihat dandanan seorang Morgan Oey jadi mirip Wali Songo. Entahlah, jiplakan super banal yang memalukan. Belum lagi dengan efek-efek spesial yang di versi aslinya ditampilkan dengan sangat baik menjadi sangat kasar dan hancur-hancuran. Buat saya efek versi sinetronnya masih sama dengan efek spesialnya Tuyul dan Mbak Yul beberapa tahun silam, kasar dan tidak meyakinkan. Dan respon orang-orang pun sudah pasti mengecam sinetron ini. Mengecam sinetron ini sebenarnya hal yang tidak perlu meskipun bukan pula hal yang salah. Kecaman pun sebenarnya bisa lebih baik sebagai bentuk kepedulian terhadap bahan tontonan yang layak ketimbang mempermasalahkan Kim Soo-hyun lebih ganteng dari Morgan Oey, atau Nikita Willy bantet tak sebanding dengan Jeon Ji-hyun, beda kelas, dan berbagai celaan lainnya. [caption id="attachment_305436" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pri"]
13989979441320097738
13989979441320097738
[/caption]

Sinetron saat ini tidak memiliki orientasi yang benar-benar menghibur apalagi mendidik. Ini hanya semacam bukti nyata yang sudah berkali-kali muncul kalau produser sinetron tidak peduli dengan mental penontonnya (baca: pembodohan yang disengaja). Apalagi dengan memperlihatkan aksi tidak kreatif dan memalukan seperti ini. Mungkin saya terlalu bermimpi, tapi saya ingin momen seperti ini menjadi ajang introspeksi menyeluruh. Saya selalu memimpikan produk dalam negeri yang memang sangat bermutu dan memang layak dipuji karena kualitasnya, bukan sebuah produk ecek-ecek yang cuma peduli permintaan pasar (film horor semi porno, komedi vulgar, acara joget-joget tanpa tujuan, sinetron episode super panjang tanpa tahu kapan tamatnya, dan lain-lain). Apalagi jika produk tersebut memang produksi asli dalam negeri tanpa embel-embel adaptasi apalagi jiplakan. Biarkan saja Korea atau negara lainnya menjadi trendstter toh mereka juga bisa seperti itu karena kerja kerasnya, kenapa kita tidak bisa? Intinya memang kembali pada mentalitas produk hiburan itu sendiri, mau dibawa ke mana orientasinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun